Songkok Recca: Mahkota Leluhur dari Bone yang Kini Menyatu dengan Rakyat

1 month ago 21

KabarMakassar.com — Di tengah geliat modernisasi, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, masih memeluk erat jejak kejayaan masa lalunya lewat sehelai songkok tradisional bernama Recca.

Dulu, songkok ini bukan sembarang penutup kepala. Ia adalah simbol darah biru, hanya boleh dikenakan oleh para bangsawan dan tokoh kerajaan.

Namun kini, Songkok Recca telah menjadi bagian dari identitas bersama masyarakat Bugis — sebuah warisan budaya yang tak lagi membeda-bedakan kasta.

Songkok ini dikenal juga dengan nama Songkok Pamiring atau Songkok To Bone, yang masing-masing sebutan memiliki kisah dan masa penggunaan yang berbeda.

Dari Medan Perang ke Singgasana Istana

Kisah Songkok Recca bermula dari satu momen genting dalam sejarah Kerajaan Bone.

Pada tahun 1683, Arung Palakka—Raja Bone ke-15—memimpin ekspedisi ke wilayah Tanah Toraja. Di medan perang yang gelap, pasukannya kesulitan membedakan antara kawan dan lawan karena seragam mereka yang mirip: sarung Bugis.

Sulit membedakan mana kawan dan mana lawan disebabkan tampilan mereka serupa.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka Arung Palakka memerintahkan pasukannya mengenakan songkok sebagai tanda pembeda, sehingga lahirlah penggunaan songkok Recca.

Penggunaan songkok tersebut kemudian berkembang menjadi simbol status di lingkungan istana. Pada masa pemerintahan Raja Bone ke-32, Lamappanyukki pada tahun 1931, songkok Recca resmi dijadikan penutup kepala kebesaran bagi raja, bangsawan, dan punggawa kerajaan.

Songkok ini kemudian dihias dengan benang atau pinggiran emas yang dikenal sebagai Pamiring Pulaweng, sebagai penanda derajat kebangsawanan.

Dari sinilah lalu muncul istilah songkok pamiring, yang berarti songkok dengan lapisan emas.

Dalam tradisi Bugis dan Makassar, semakin tinggi posisi lingkaran emas yang ada pada songkok, maka semakin tinggi pula status sosial pemakainya.

Hanya tokoh besar seperti Sombayya ri Gowa serta Petta Mangkaue di Bone yang berhak memakai songkok dengan emas tertinggi.

Terdapat aturan ketat untuk penggunaan songkok pamiring. Golongan tertinggi seperti raja, anak raja dianggap berdarah biru (Maddara Takku), dan Mattola boleh mengenakan songkok yang seluruhnya dilapisi emas murni atau dikenal sebagai Ulaweng Bubbu.

Sedangkan, bagi golongan bangsawan lain contohnya, Anak Arung dan Rajeng Matase diperbolehkan mengenakan songkok dengan lapisan emas sebagian, tergantung kedudukan mereka.

Semakin rendah derajatnya, maka semakin kecil bagian emas yang boleh digunakan.
Golongan seperti Tau Deceng serta Tau Sama juga diperbolehkan mengenakan songkok Recca dengan pinggiran emas.

Akan tetapi, golongan Ata tidak diperkenankan sama sekali untuk mengenakannya.

Aturan tersebut bukan hanya sekadar simbol status, namun juga menyimpan pesan moral yang mendalam.

Songkok Recca mengajarkan bagaimana pentingnya menghormati struktur sosial, menghargai yang dituakan, serta menanamkan nilai penghormatan dalam kehidupan masyarakat Bugis.

Dari Eksklusif Jadi Inklusif

Zaman terus bergulir, dan hierarki kerajaan perlahan memudar. Namun Songkok Recca tak ikut lenyap, justru semakin hidup dalam wajah baru.

Songkok Recca, yang dulunya hanya boleh dikenakan oleh kaum bangsawan, kini sudah menjadi milik semua kalangan.

Akan tetapi, pesona dan wibawa songkok ini tetap terasa kuat, terkhususnya saat dikenakan oleh tokoh penting, pejabat, atau orang terpandang.

Kini, songkok pamiring tak lagi eksklusif untuk mereka yang berdarah biru. Walau terbuka untuk umum, orang yang memahami filosofi mendalam di balik songkok ini biasanya tidak sembarangan untuk mengenakannya.

Songkok ini bukan hanya sekadar penutup kepala, namun sebagai simbol karisma dan pencapaian pribadi seseorang.

Hiasan emas yang melingkari songkok pamiring menandakan nilai hingga prestasi si pemakai.

Semakin banyak lapisan emasnya, maka semakin tinggi pula makna dan posisi sosial yang direpresentasikan.

Filosofi ini tetap hidup, walaupun aturan kasta dalam penggunaannya sudah tak lagi berlaku.

Sejak berakhirnya masa kerajaan, songkok Recca pun menjadi simbol inklusifitas. Kini, siapa saja bisa mengenakannya tanpa memandang latar belakang.

Karena makna yang dikandungnya, songkok ini juga disebut Songkok To Bone, yakni songkok milik seluruh masyarakat Bone, tanpa batas kasta atau kedudukan.

Sebutan Songkok To Bone ini mencerminkan jati diri kolektif masyarakat Bone. Songkok tersebut bukan sekadar hasil kerajinan tangan, namun mencerminkan cipta, rasa, dan karsa budaya Bugis yang terus dijaga hingga hari ini.

Menariknya, songkok Recca kini tak hanya dibuat di Bone, tetapi juga telah diproduksi di berbagai daerah lain.

Baik disebut songkok Recca, pamiring, maupun To Bone, semuanya merujuk pada jenis songkok yang sama, dimana hanya dibedakan oleh konteks waktu serta fungsinya.

Nama Recca sendiri diketahui berasal dari proses pembuatannya. Bahan utamanya ialah serat dari pelepah daun lontar yang dipukul-pukul hingga hancur, atau dalam bahasa Bugis disebut direcca-recca.

Setelah proses tersebut hanya serat-serat halus yang tersisa dan siap dianyam.
Awalnya, serat itu berwarna putih, lalu berubah menjadi kecoklatan seiring waktu.

Untuk mendapatkan warna hitam khas songkok Recca, maka serat harus direndam dalam lumpur selama beberapa hari. Pewarnaan ini alami, tanpa menggunakan tambahan zat kimia apapun.

Proses pembuatan songkok dimulai dengan merangkai serat menggunakan cetakan kayu yang disebut dengan Assareng, biasanya dibuat dari kayu nangka.

Cetakan tersebut akan menentukan bentuk dan ukuran songkok yang dihasilkan, menyesuaikan keinginan pemesan. Proses ini memadukan teknik tradisional dengan nilai budaya yang tinggi.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news