KabarMakassar.com — Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi yang terdiri dari wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan menyoroti konsekuensi dari banyaknya izin usaha pertambangan (IUP) industri nikel dan pembangunan PLTU Captive di Pulau Sulawesi.
Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi membeberkan konsekuensi dari hilirasisi nikel dan PLTU Captive mulai dari deforestasi, pencemaran air dan udara, meningkatnya penyakit, hilangnya ruang hidup rakyat, hingga kriminalisasi terhadap pembela HAM dan lingkungan
Dinamisator Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi, Muh. Al Amin menjelaskan bahwa kurang dari satu dekade, secara pesat Sulawesi telah menjadi pusat hilirisasi nikel Indonesia.
Meski begitu, ancaman dari klaim kemajuan industri dan kontribusi pada transisi energi global kini dihadapi warga setempat mulai dari beban polusi, konflik, dan krisis kesehatan.
Amin menyebut bahwa hampir 100 persen smelter pengolahan nikel untuk bahan baku baterai justru menggunakan energi kotor batubara dengan jenis perizinan izin usaha pembangkit listrik untuk kepentingan sendiri dimana hal tersebut menjadi kewenangan Kementerian ESDM, dan juga berada dalam pengawasan Kementerian Perindustrian melalui skema perencanaan industri nasional.
“Yang kami sesali adalah ESDM dan Kementerian Perindustrian belum memiliki roadmap yang jelas untuk meninggalkan batubara di dalam aktivitas industri, dan ini membahayakan warga sulawesi,” ungkap Amin dalam konferensi pers yang berlangsung di Kantor Eksekutif Nasional WALHI yang juga disiarkan melalui zoom, Kamis (22/05)
Warga Desa Ambunu, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, Ramadhani Annas mengungkapkan ancaman dan dampak yang dirasakan dengan hadirnya PLTU Captive.
Ia menjelaskan bahwa bahwa dirinya bermukim hanya sekitar 100 meter dari PLTU milik PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP).
Lokasi rumahnya yang berada sangat dekat dengan pembangkit listrik dan jalur kabel SUTET, menempatkannya langsung dalam zona terdampak polusi industri.
Kualitas udara di sekitar kawasan industri PT IHIP semakin mengkhawatirkan sejak beroperasinya PLTU dan smelter dan juga meningkatnya jumlah kendaraan berat dan pengurangan tutupan vegetasi di desa-desa sekitar juga memperparah konsentrasi debu di udara.
Jalan Trans Sulawesi yang melintasi Desa Ambunu, Tondo, dan Topogaro semuanya berada dalam lingkar kawasan industri menjadi jalur utama distribusi tambang yang dipenuhi debu setiap hari.
Tumpukan batu bara yang disimpan secara terbuka di sekitar kawasan industri mengancam kesehatan warga.
Data Puskesmas Wosu menunjukkan bahwa kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) meningkat drastis sejak PT IHIP mulai beroperasi.
Pada tahun 2021 tercatat 735 kasus ISPA, melonjak menjadi 1.200 kasus pada 2022, dan sebanyak 1.148 kasus pada tahun 2023.
“Sejak awal pembangunan PLTU, kami menghadapi penyerobotan lahan. Sampai hari ini, masih ada masyarakat yang berjuang mempertahankan tanahnya karena belum mendapatkan haknya di area tersebut,” ungkap Ramadhan.
Selain itu, ia menjelaskan bagaimana kehidupan masyarakat pesisir berubah drastis. Mereka yang dulu menggantungkan hidup dari menangkap ikan dan budidaya rumput laut, kini kesulitan mengakses laut yang telah dibatasi oleh aktivitas industri.
“Laut bukan lagi ruang hidup kami. Reklamasi dan pencemaran dari limbah membuat budidaya rumput laut jadi mustahil. Teman-teman nelayan mengalami kerugian besar,” sambungnya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara, Gian Purnamasari mengungkap kondisi memprihatinkan di wilayah lingkar industri yang kini dikepung kawasan smelter dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara.
“Saya mendampingi warga terdampak, terutama di Kabupaten Konawe. PLTU yang digunakan untuk mendukung kawasan industri ini menggunakan batu bara, dan menjadi sumber utama polusi,” ungkap Gian.
Di Desa Tani Indah, tempat salah satu perusahaan besar yakni VDNI beroperasi, warga mulai merasakan dampak kesehatan yakni penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dilaporkan meningkat, sementara penghasilan masyarakat dari sektor tambak mengalami penurunan drastis.
“PLTU ini menghasilkan fly ash dan bottom ash yang mencemari tambak. Dulu, warga bisa dapat hasil 20 hingga 50 juta. Sekarang kami bahkan gagal panen,” sebutnya
Gian menambahkan bahwa di Morosi, wilayah lain di Konawe, ibu-ibu harus membersihkan rumah dua kali sehari karena debu hitam yang terus masuk.
“Debu itu sampai masuk kedalam lemari makan. Piring dan alat makan harus dibersihkan setiap saat,” sebutnya.
“Anak-anak yang terus-menerus menghirup debu ini akan terganggu pertumbuhan dan perkembangan organnya. Mereka sangat rentan,” tegasnya
Tak hanya debu dan kualitas udara, WALHI Sulawesi Tenggara juga telah melakukan uji sampel di sungai sekitar kawasan industri dan menemukan adanya kandungan kadmium dan timbal yang melebihi baku mutu lingkungan.
“Jika ikan dari sungai ini terus dikonsumsi, risiko kanker dan kematian dini sangat mungkin terjadi,” bebernya.
Selanjutnya dampak sosial juga dirasakan masyarakat, terutama kelompok rentan.
“Pekerja perempuan di sekitar pertambangan sangat rentan. Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga pelanggaran hak asasi manusia,” pungkasnya.
Gian menegaskan bahwa kondisi ini melanggar Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Atas dasar itu, Walhi Sulawesi Tenggara bersama gerakan Sulawesi Tanpa Polusi mendorong diberlakukannya moratorium PLTU industri.
“Kami tidak ingin ada lagi pelanggaran HAM yang terus terjadi di tapak industri. Kami mendesak dihentikannya pembangunan dan operasional PLTU berbasis batubara agar masyarakat bisa hidup sehat dan sejahtera,” pungkasnya.