
KabarMakassar.com – Kegagalan penyaluran hibah rumah ibadah pada tahun anggaran 2024 menjadi isu hangat di lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Tak kurang dari Rp9,9 miliar tercatat sebagai Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) karena tak tersalurkan sebagaimana mestinya.
Ketua Panitia Kerja (Panja) DPRD Sulsel, Yeni Rahman, menyebut persoalan ini bukan sekadar soal dana, tetapi menunjukkan lemahnya koordinasi dan rumitnya birokrasi.
“Anggaran yang tidak terserap itu mayoritas berasal dari program hibah rumah ibadah. Sayangnya, bukan karena tidak dibutuhkan, tapi karena prosedur yang tidak berpihak pada masyarakat,” kata Yeni, Kamis (22/05).
Yeni menyebut ada 32 masjid dan dua lembaga keagamaan yang sebenarnya sudah masuk dalam dokumen perencanaan dan disepakati melalui forum reses DPRD. Namun, mereka gagal mengajukan berkas pencairan karena proses administrasi yang lambat dan tidak sinkron.
“Ini bukan soal niat, tapi sistem yang menghambat. SPD dari BKAD baru keluar November, sementara proposal harus masuk akhir Oktober. Bagaimana mungkin bisa jalan?” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa sebagian besar pengurus rumah ibadah kesulitan memenuhi syarat administratif karena tidak adanya sosialisasi yang cukup dan minimnya pendampingan teknis dari pemerintah.
“Banyak pengurus masjid di desa tidak tahu format proposal, tidak paham alur birokrasi. Kita tidak bisa berharap mereka bisa bekerja seperti konsultan,” ujarnya.
Lebih jauh, Yeni juga menyoroti ketidakterpaduan antara mekanisme reses DPRD dan proses penyusunan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah). Usulan aspirasi anggota DPRD kerap kali tidak bisa dieksekusi karena tidak memenuhi syarat teknis yang berubah-ubah atau tidak diketahui sejak awal.
“Kita minta sistem ini dibenahi. Jangan sampai wakil rakyat menampung aspirasi, tapi kemudian pemerintah gagal menyalurkan hanya karena persoalan teknis,” ujarnya.
Tak kalah penting, Yeni menekankan perlunya kejelasan soal kuota atau batasan nominal aspirasi hibah rumah ibadah yang bisa diperjuangkan oleh masing-masing anggota DPRD. Menurutnya, selama ini tidak ada pedoman baku, yang justru menimbulkan ketimpangan distribusi di lapangan.
“Ada anggota DPRD yang aspirasinya diakomodasi penuh, ada pula yang tidak satu pun disetujui. Padahal semua wakil rakyat punya konstituen dan tanggung jawab yang sama,” katanya.
Menjawab semua persoalan itu, Panja Hibah DPRD Sulsel telah menyusun serangkaian rekomendasi. Salah satunya adalah mendesak BKAD dan Biro Kesra untuk menerbitkan SPD paling lambat akhir Juni setiap tahun. Hal ini bertujuan agar pencairan hibah tidak terhambat oleh tenggat waktu administrasi menjelang akhir tahun anggaran.
Yeni juga menekankan pentingnya penyusunan SOP terpadu untuk alur hibah rumah ibadah yang melibatkan seluruh tahap mulai dari perencanaan, verifikasi, hingga pencairan.
“Kami tidak ingin lagi melihat dana terparkir di kas daerah hanya karena SOP yang tidak jelas,” katanya.
Untuk memudahkan masyarakat, DPRD juga meminta agar pengajuan hibah disederhanakan dan disosialisasikan secara masif, termasuk penyediaan template proposal dan posko konsultasi teknis di tiap kabupaten/kota.
“Biro Kesra harus turun langsung, jangan hanya duduk di kantor menunggu proposal masuk,” ucap Yeni.
Ia juga mengusulkan agar setiap anggota DPRD mendapat prioritas untuk minimal dua proposal hibah sesuai kemampuan fiskal daerah. “Dengan begitu, ada keadilan dan transparansi dalam penyaluran hibah,” jelasnya.
Tak kalah penting, DPRD menekankan perlunya pengawasan ketat terhadap penggunaan hibah. Menurut Yeni, banyak kesalahan administratif yang bisa berujung pada masalah hukum, padahal niat awalnya murni membantu pembangunan rumah ibadah.
“Perlu pendampingan dan pembinaan teknis dari OPD terkait agar tidak ada yang terjebak dalam ketidaktahuan,” pungkasnya.