KabarMakassar.com — Tingkat inklusi dan literasi keuangan masyarakat Indonesia tahun 2025 menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antar kelompok demografis.
Data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 mencatat bahwa perempuan, warga di wilayah perdesaan, serta kelompok usia muda dan lansia masih berada di bawah rata-rata nasional dalam hal literasi maupun inklusi keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui keterangan resminya yang dikutip Selasa (06/05) menjelaskan bahwa indeks literasi keuangan disusun berdasarkan lima parameter yaitu pengetahuan, keterampilan, keyakinan, sikap, dan perilaku.
Sementara itu, indeks inklusi keuangan dilihat dari parameter penggunaan produk dan layanan keuangan.
“SNLIK tahun 2025 menjadi dasar penting bagi OJK dan para pemangku kepentingan lainnya untuk menyusun strategi, kebijakan, hingga desain produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan konsumen. Tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” terang OJK dalam keterangannya.
Berdasarkan klasifikasi wilayah, warga perkotaan mencatat indeks literasi dan inklusi yang lebih tinggi dibandingkan perdesaan.
Indeks literasi di kota mencapai 70,89 persen, sedangkan inklusi keuangan 83,61 persen. Di sisi lain, wilayah desa hanya mencatat masing-masing 59,60 persen dan 75,70 persen.
Dilihat dari sisi gender, laki-laki memiliki indeks literasi keuangan sebesar 67,32 persen, lebih tinggi dari perempuan yang berada di angka 65,58 persen. Meski begitu, indeks inklusi keuangan keduanya relatif sebanding: laki-laki 80,73 persen dan perempuan 80,28 persen.
Jika dilihat berdasarkan usia, kelompok usia produktif seperti 26–35 tahun (74,04 persen), 18–25 tahun (73,22 persen), dan 36–50 tahun (72,05 persen) memiliki tingkat literasi tertinggi.
Sebaliknya, kelompok usia 15–17 tahun dan 51–79 tahun mencatat angka terendah, yakni 51,68 persen dan 54,55 persen. Pola serupa juga terlihat pada indeks inklusi, di mana kelompok usia muda dan lansia juga mencatat angka yang lebih rendah.
Tingkat pendidikan juga menjadi faktor penentu dalam literasi dan inklusi keuangan. Warga dengan pendidikan perguruan tinggi mencatat indeks literasi tertinggi sebesar 90,63 persen, diikuti oleh lulusan SMA/sederajat 79,18 persen dan SMP/sederajat 64,04 persen.
Sebaliknya, warga yang tidak/belum sekolah dan hanya tamat SD memiliki indeks jauh lebih rendah, masing-masing 43,20 persen dan 54,50 persen.
Pada aspek pekerjaan, pegawai atau profesional memiliki tingkat literasi keuangan tertinggi (85,80 persen), diikuti oleh pensiunan (74,11 persen) dan pengusaha (73,60 persen).
Sementara itu, kelompok petani/peternak, pengangguran, dan pekerjaan lainnya mencatat angka paling rendah. Untuk inklusi keuangan, pegawai, pensiunan, dan pengusaha juga memimpin dengan angka hingga 100 persen, sedangkan petani dan kelompok tidak bekerja berada di bawah 70 persen.
Hasil ini selaras dengan data metode cakupan DNKI yang juga mencatat pola serupa: warga kota, laki-laki, usia produktif, dan berpendidikan tinggi menunjukkan indeks tertinggi baik dalam literasi maupun inklusi.
Sebaliknya, perempuan, warga desa, remaja, lansia, dan warga dengan pendidikan rendah masih menjadi kelompok rentan.
Berdasarkan sektor jasa keuangan, literasi dan inklusi masyarakat paling banyak ditopang oleh sektor perbankan, yakni masing-masing sebesar 65,50 persen dan 70,65 persen.
“Oleh karena itu, OJK akan mengintensifkan edukasi literasi dan inklusi keuangan khususnya bagi kelompok yang masih tertinggal. Fokus kami tertuang dalam Peta Jalan Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen 2023–2027, serta dalam RPJMN dan RPJPN mendatang,” jelas OJK.
Upaya ini diharapkan mampu menjangkau kelompok-kelompok prioritas seperti pelajar, ibu rumah tangga, petani, hingga warga yang belum bekerja, agar dapat lebih memahami dan memanfaatkan layanan keuangan secara bijak dan merata.