
KabarMakassar.com — Polemik soal kebal hukum bagi pengurus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali mencuat usai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 disahkan.
Sejumlah pihak menyoroti Pasal 9G dalam beleid anyar itu, yang menyatakan bahwa direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara. Isu ini menimbulkan kekhawatiran bahwa mereka tak lagi bisa disentuh oleh hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Asep Wahyuwijaya, menepis anggapan tersebut. Ia menilai interpretasi yang berkembang terlalu jauh dan cenderung menyesatkan.
Menurutnya, sekalipun pengurus BUMN tidak berstatus sebagai penyelenggara negara, mereka tetap bisa dikenakan jeratan hukum jika terbukti menyimpang dalam pengelolaan keuangan negara.
“Pernyataan bahwa mereka kebal hukum itu sangat berlebihan. Jangan sampai kita terjebak dengan status hukum formal mereka. Jika ada uang negara yang mereka kelola dan terjadi penyimpangan, mereka tetap bisa dijerat dengan tindak pidana korupsi,” ujar Asep dalam keterangannya, Jumat (9/5).
Legislator dari Daerah Pemilihan Jawa Barat V ini mencontohkan perusahaan-perusahaan BUMN strategis seperti PLN dan Pertamina. Keduanya kerap mendapat kucuran subsidi dari negara untuk menjalankan tugas Public Service Obligation (PSO). Dana tersebut, kata Asep, merupakan uang negara yang tetap harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
“Banyak pengusaha swasta yang tidak punya status penyelenggara negara tapi tertangkap KPK karena terlibat proyek yang berbasis uang negara. Apalagi direksi BUMN. Tidak ada alasan mereka bebas dari jerat hukum,” tegasnya.
Lebih jauh, Asep menjelaskan bahwa meskipun tidak mengelola dana negara secara langsung, pengurus BUMN bisa tetap diseret ke ranah pidana apabila mereka melanggar prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance).
Ia merujuk pada doktrin business judgment rule sebagai standar etik dan hukum dalam pengambilan keputusan bisnis oleh manajemen BUMN.
“Kalau mereka mengambil kebijakan yang ceroboh, tanpa itikad baik, melanggar prinsip kehati-hatian atau terlibat konflik kepentingan, dan akhirnya menyebabkan kerugian bagi perusahaan, maka mereka bisa dikenai delik hukum,” jelas Asep.
Ia juga menyebut bahwa Kejaksaan, Kepolisian, hingga KPK tetap memiliki kewenangan penuh untuk memeriksa dan menindak jika ada dugaan pelanggaran hukum. Bahkan, menurutnya, Kementerian BUMN dan DPR dapat melaporkan dugaan penyimpangan kepada aparat penegak hukum.
“Kita semua punya tanggung jawab untuk mengawasi. UU yang baru ini tidak menjadikan pengurus BUMN kebal. Tidak ada yang kebal hukum di negara ini,” tandas Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral DPP Partai NasDem itu.
Pada Pasal 11 Ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK menyebut bahwa lembaga antirasuah itu berwenang menyidik tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara dan merugikan negara sedikitnya Rp1 miliar.
Situasi ini memunculkan pertanyaan publik, jika pengurus BUMN bukan lagi penyelenggara negara, apakah KPK masih punya yurisdiksi atas mereka?
Menjawab hal ini, Asep menekankan bahwa yurisdiksi KPK tidak hanya terbatas pada status pelaku sebagai penyelenggara negara. Yang lebih utama adalah apakah tindak pidana tersebut menggunakan atau merugikan uang negara.
“KPK bisa masuk kalau ada indikasi kuat bahwa uang negara diselewengkan. Status formal sebagai penyelenggara negara tidak membatasi kewenangan KPK selama unsur-unsur pidana terpenuhi,” tegasnya Asep.
Dengan pernyataan ini, ia berharap publik tidak salah kaprah dan tetap percaya bahwa hukum akan tetap berjalan adil, bahkan bagi elite-elite perusahaan milik negara.