UU BUMN Dinilai Lemahkan Kewenangan KPK, Ini Kata Pakar Hukum Unhas

1 day ago 6

KabarMakassar.com — Sorotan tajam kembali mengarah ke Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tengah mengkaji dampak dari berlakunya regulasi tersebut.

UU BUMN ini dinilai berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi di lingkungan BUMN karena adanya ketentuan yang mengubah status hukum pejabat BUMN.

Kontroversi muncul karena UU BUMN terbaru secara eksplisit menyebut bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara.

Ketentuan ini tercantum dalam sejumlah pasal krusial, antara lain Pasal 9G yang berbunyi, “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”

Menanggapi hal itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Amir Ilyas, menyoroti pentingnya mencermati secara utuh bunyi pasal-pasal tersebut agar tidak menimbulkan interpretasi bias.

Ia mengutip sejumlah pasal yang menguatkan perubahan status hukum pejabat BUMN. Misalnya, Pasal 3X ayat (1) menyebutkan, “Organ dan pegawai Badan bukan merupakan penyelenggara negara.” Begitu pula Pasal 87 ayat (5) yang menegaskan bahwa karyawan BUMN tidak termasuk penyelenggara negara.

Padahal, menurut Prof. Amir, perubahan ini dapat berdampak signifikan terhadap wewenang KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Pasal tersebut menyatakan bahwa KPK berwenang menangani tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan yang merugikan keuangan negara minimal Rp1 miliar.

“Kalau kita berpedoman pada Pasal 11 ayat 1 UU KPK, dihubungkan dengan Pasal 9G UU BUMN, secara sepintas lalu memang telah ada pembatasan kewenangan bagi KPK untuk melakukan penegakan hukum terhadap korupsi yang berkualifikasi merugikan keuangan negara,” ujar Prof Amir, Kamis (08/05).

Namun demikian, ia menegaskan bahwa ruang hukum lain masih tetap terbuka melalui Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Dalam pandangannya, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tetap relevan dan dapat diterapkan terhadap individu, termasuk pejabat BUMN, jika terbukti menyebabkan kerugian keuangan negara.

Pada Pasal 2 UU Tipikor, subjek pelakunya sebagaimana dalam praktik, yaitu bisa individu, tidak perlu yang berkualifikasi sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.

“Artinya, sekalipun dalam UU BUMN direksi dan dewan komisaris tidak lagi dikualifikasi sebagai penyelenggara negara, tetapi jika ada kerugian negara yang disebabkan oleh pejabat-pejabat dimaksud, masih bisa diterapkan Pasal 2 UU Tipikor,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa apabila KPK tidak lagi memiliki kewenangan dalam konteks tersebut, maka penegakan hukum bisa dilakukan oleh lembaga lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan, yang juga memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.

Menurut Prof Amir, regulasi semestinya tidak semata-mata menghapus status penyelenggara negara pada pejabat BUMN, tetapi lebih tepat jika disusun untuk memberikan perlindungan hukum terhadap mereka yang bekerja dengan itikad baik.

“Seharusnya regulasi dibentuk dalam klausula bahwa Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN yang sudah bekerja dan dilakukan dengan niat baik (good faith), berdasarkan analisis yang wajar, dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, tidak dapat dipidana,’” ucapnya.

Ia menyayangkan jika perubahan dalam UU ini justru menjadi celah untuk menghindari pertanggungjawaban hukum, terlebih dalam praktiknya, kerugian negara kerap diartikan sebagai tindak pidana meski belum tentu ada unsur niat jahat atau pelanggaran hukum.

“Inilah yang seharusnya dapat dikonkretkan oleh pembentuk UU, bagaimana meletakkan adanya niat jahat dan perbuatan jahat atas tindakan dari Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN,” tutup Prof. Amir.

Dengan kontroversi yang muncul, UU BUMN yang baru tersebut diperkirakan akan terus menjadi bahan perdebatan hukum, terutama terkait batas-batas penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di sektor badan usaha milik negara.

Sebelumnya diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengkaji dampak dari berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), yang dinilai berpotensi menghambat kewenangan KPK dalam menindak kasus korupsi di lingkungan BUMN.

UU yang mulai berlaku pada 24 Februari 2025 itu memuat ketentuan baru yang menjadi sorotan, khususnya Pasal 3X Ayat (1) dan Pasal 9G. Dalam Pasal 9G disebutkan bahwa “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.” Sementara Pasal 3X Ayat (1) menegaskan bahwa organ dan pegawai badan bukan penyelenggara negara.

Padahal, sesuai Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pembertasan Tindak Pidana Korupsi menyebut KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum hingga penyelenggara negara, dan merugikan negara paling sedikit Rp1 miliar.

Artinya, perubahan status ini berpotensi menyulitkan KPK untuk memproses hukum direksi BUMN, yang sebelumnya dikategorikan sebagai penyelenggara negara.

Menanggapi hal ini, KPK melalui Anggota Tim Juru Bicara, Budi Prasetyo, menyatakan tengah melakukan kajian menyeluruh terhadap UU BUMN yang baru. Kajian tersebut, kata Budi, dilakukan dengan membandingkan substansi UU BUMN dengan regulasi lain seperti KUHAP, UU Tipikor, dan UU Keuangan Negara.

“Dalam melakukan kajian tersebut, KPK tentu juga akan melihat peraturan dan ketentuan lainnya. Tujuannya untuk memastikan posisi dan wewenang KPK tidak terganggu dalam pemberantasan korupsi,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Senin (05/05) dikutip dari Antara.

Menurutnya, kajian ini penting guna menilai secara objektif implikasi dari perubahan status direksi dan komisaris BUMN, serta dampaknya terhadap pelaksanaan tugas KPK, baik di bidang penindakan maupun pencegahan korupsi.

“KPK memandang penting melakukan intervensi pencegahan korupsi untuk menciptakan iklim bisnis yang bersih dan berintegritas,” pungkasnya.

Sebagai informasi, UU Nomor 1 Tahun 2025 ini menggantikan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Namun, sejumlah pihak menilai perubahan regulasi ini berisiko melemahkan pengawasan terhadap BUMN, terutama jika KPK kehilangan kewenangan menindak pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pejabat tinggi di perusahaan milik negara tersebut.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news