KabarMakassar.com — Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P-2) belakangan ramai diperbincangkan. Jika sebelumnya polemik mencuat di Kabupaten Pati, ternyata sejumlah daerah lain dari Sulawesi Selatan hingga Jawa Tengah juga ikut menaikkan PBB P-2.
Di beberapa wilayah, kebijakan ini bahkan memicu gelombang protes masyarakat, lantaran dianggap terlalu memberatkan di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil.
Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan: Ricuh di Depan DPRD
Salah satu daerah yang menghadapi sorotan tajam adalah Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Masyarakat sempat menganggap kenaikan PBB P-2 di Bone mencapai 300 persen. Namun, klaim tersebut dibantah oleh Pemkab Bone melalui Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Muh Angkasa.
Ia menegaskan bahwa kenaikan hanya sebesar 65 persen, mengacu pada penyesuaian Zona Nilai Tanah (ZNT) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang sudah 14 tahun tidak diperbarui.
Meski begitu, penjelasan tersebut tidak mampu meredam kekecewaan warga. Pada Selasa, 12 Agustus 2025, aksi unjuk rasa mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di depan kantor DPRD Bone berakhir ricuh. Bentrokan antara massa aksi dan aparat keamanan pecah setelah aspirasi mereka dianggap tidak ditanggapi serius.
Ketua DPRD Bone, Andi Tenri Walinong, menegaskan bahwa kebijakan kenaikan PBB itu masih dalam tahap pembahasan dan menekankan komitmen lembaganya untuk mengawal pembatalan kebijakan yang dianggap tidak memenuhi asas legalitas tersebut.
Cirebon: Kenaikan Hingga 1000 Persen
Gelombang penolakan juga muncul di Kota Cirebon. Warga mengaku dikejutkan dengan kenaikan PBB P-2 yang disebut-sebut mencapai 1000 persen. Kebijakan itu merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi.
Masyarakat menilai kenaikan yang drastis tersebut memberatkan, terutama bagi warga dengan penghasilan menengah ke bawah. Hingga kini, pemerintah Kota Cirebon belum memberikan penjelasan detail mengenai dasar perhitungan yang membuat nilai PBB melonjak begitu tinggi. Ketiadaan sosialisasi yang jelas memperburuk keresahan masyarakat.
Jombang: Kebijakan Warisan PJ Bupati
Di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, kenaikan PBB-P2 juga menjadi perbincangan hangat. Sejumlah warga mengaku nilai pajak mereka naik hingga 400 persen.
Bupati Jombang, Warsubi, menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukan hasil pemerintahannya, melainkan konsekuensi dari Perda tahun 2023 saat daerah ini masih dipimpin oleh Penjabat (PJ) Bupati.
“PBB-P2 di Jombang berjalan berdasarkan Perda 2023. Kami hanya melaksanakan apa yang sudah diputuskan sebelumnya,” jelas Warsubi, Rabu (13/8).
Kepala Bapenda Jombang, Hartono, menambahkan bahwa kebijakan penyesuaian pajak dilakukan secara nasional. Di tingkat daerah, pembaruan data dilakukan setelah 14 tahun tidak ada perubahan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Menurutnya, keterlibatan pemerintah desa dalam memperbarui data juga menjadi faktor penting dalam menentukan besaran PBB yang baru.
Kabupaten Semarang: Kenaikan Tidak Merata
Kondisi berbeda terjadi di Kabupaten Semarang. Sejumlah wajib pajak mengaku PBB mereka naik hingga 400 persen, namun Bupati Semarang Ngesti Nugraha menegaskan tidak semua warga terdampak. Dari total 775.009 Nomor Objek Pajak (NOP), hanya 45.977 yang mengalami kenaikan, 13.912 justru mengalami penurunan, sementara sisanya tetap.
“Dasar perhitungannya jelas, yakni Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang menyesuaikan lokasi dan perkembangan wilayah,” jelas Ngesti.
Kepala Badan Keuangan Daerah (BKUD) Kabupaten Semarang, Rudibdo, memaparkan bahwa penyesuaian terutama terjadi pada tanah dan bangunan yang berada di lokasi strategis, seperti ruas jalan nasional, provinsi, hingga kabupaten. Penyesuaian ini, katanya, tidak lepas dari kebijakan Zona Nilai Tanah (ZNT) terbaru yang dikeluarkan BPN.
Tren Nasional yang Belum Matang
Jika dicermati, pola kenaikan PBB di sejumlah daerah memiliki benang merah yang sama yaitu penyesuaian dilakukan setelah puluhan tahun tidak ada pembaruan nilai tanah.
Pemda berargumen bahwa kebijakan ini perlu demi menyesuaikan harga pasar tanah dan mendorong peningkatan pendapatan daerah.
Namun, di lapangan, kebijakan tersebut kerap memicu kontroversi karena dianggap dilakukan tanpa sosialisasi masif. Banyak warga mengaku terkejut ketika nilai PBB yang harus dibayarkan tiba-tiba melonjak berkali lipat.
Para pakar kebijakan publik menilai, penetapan kenaikan PBB seharusnya memperhatikan daya beli masyarakat dan dilakukan secara bertahap. Kenaikan mendadak dalam jumlah besar, apalagi hingga 400–1000 persen, hanya akan menimbulkan gejolak sosial.
Gelombang Penolakan Meluas
Dari Bone hingga Cirebon, Jombang, dan Semarang, penolakan warga terhadap kenaikan PBB P-2 memperlihatkan keresahan yang meluas. Pemerintah daerah diminta lebih transparan dalam menjelaskan dasar hukum, formula perhitungan, serta manfaat langsung dari pajak yang dibayarkan masyarakat.
Jika tidak segera ada penyesuaian dan solusi, kebijakan ini berpotensi menjadi isu nasional yang melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah maupun pusat.
Pada akhirnya, pajak yang semestinya menjadi instrumen pembangunan justru berubah menjadi pemicu ketidakstabilan sosial di akar rumput.