Dari Kelas untuk Nusantara, Kisah Para Guru yang Menggerakkan Perubahan Pendidikan

13 hours ago 4

KabarMakassar.com — Sekolah Islam Athirah Bukit Baruga menjadi tuan rumah pelaksanaan Kelas Pendidik dan Kelas Pemimpin yang merupakan bagian dari gelaran Temu Pendidik Nusantara (TPN) XII Kota Makassar.

Kegiatan tersebut menyajikan kisah nyata para guru dan pemimpin pendidikan yang berani berinovasi, berjejaring, dan bertransformasi dari ruang kelas hingga ke tingkat pengelolaan sekolah.

Sebanyak satu kelas pemimpin dan empat kelas pendidik berjalan paralel dalam satu sesi penuh inspirasi, menghadirkan 18 pembicara dari berbagai sekolah dan latar belakang, yang membagikan praktik baik mereka dalam menjawab tantangan pendidikan masa kini.

Kurator daerah TPN XII Makassar, Adelia Octoryta, mengatakan bahwa pihaknya tidak sedang mencari guru terbaik namun menyuarakan praktik baik.

“Karena yang kita perlukan hari ini bukan sekadar prestasi, tapi kolaborasi dan refleksi yang menular,” tukasnya berdasarkan keterangan yang diterima Rabu (02/07).

Penggerak Komunitas Guru Belajar Nusantara (KGBN), Buri Prahastyo menyebut jika TPN XII Makassar menghadirkan Kelas Pendidik dan Kelas Pemimpin sebagai ruang aman dan kolaboratif antar pendidik.

“Kita ingin guru tumbuh bukan karena kompetisi, tapi karena kolaborasi, inspirasi, dan keberanian membagikan prosesnya,” jelasnya.

Koordinator TPN XII Makassar
Mukhlis Rahmad meyatakan jika mereka ingin menunjukkan bahwa pembelajaran terbaik seringkali lahir dari guru untuk guru, dari sekolah untuk sekolah.”

Kegiatan ini menjadi bagian dari TPN XII yang tahun ini mengusung tema nasional “Iklim Pendidikan & Pendidikan Iklim”.

Sekolah Islam Athirah Bukit Baruga menjadi ruang perjumpaan lintas latar guru, sekolah, dan komunitas yang percaya bahwa transformasi pendidikan dimulai dari kekuatan kisah dan aksi nyata.

TPN XII Makassar telah membuka banyak ruang belajar dan menjadi katalis untuk kolaborasi. Dalam waktu satu jam kelas, para peserta menyerap kisah yang sekian lama diproses dengan jatuh bangun, mencoba, gagal, lalu bangkit kembali.

Di tengah kompleksitas tantangan pendidikan hari ini, Kelas Pendidik dan Kelas Pemimpin menjadi bukti bahwa perubahan pendidikan tidak harus menunggu. Namun, bisa dimulai hari ini, dari ruang kelas, dan dari guru-guru yang berani berbagi.

Diketahui, Kelas Pemimpin yang digelar pada Sabtu 21 Juni lalu tersebut menampilkan dua praktik kepemimpinan sekolah yang menggugah, pertama dari Sarwinah yang membawakan materi bertajuk “DEBUS: Solusi Membantu Mengurangi Sampah di Sekolah”.

Sebuah inisiatif yang tidak hanya menyasar kebersihan lingkungan sekolah namun juga membangun budaya sadar lingkungan dalam komunitas pendidikan.

Kemudian ada Muhammad Agus yang berbagi pengalaman dalam memimpin sekolah pinggiran melalui topik “Sekolah Pinggiran, Mimpi Besar: Perjalanan Menuju Sekolah Bermakna”.

Praktiknya menunjukkan bahwa dengan visi dan tekad, keterbatasan geografis maupun sumber daya bukanlah halangan untuk membangun sekolah yang transformatif.

Dalam pelaksanaan di kelas pendidik yang pertama, empat guru berbagi cerita penuh makna tentang membangun relasi dan dampak emosional dalam proses belajar.

Diantaranya adalah, Taufiqurrahman yang membawa cerita terkait “Mengelola Emosi, Membangun Relasi”. Kemudian ada Cicit Fatimiyah yang membawakan topik tentang “Mengajar Bukan untuk Hebat, Tapi untuk Berdampak”.

Selanjutnya ada Reski Indah Sari dengan “Cinta yang Mendidik: Relasi Tulus dan Profesional, terakhir ada Ayu Rezky Pratiwi dengan “BAKTI atau Berbagi Konten, Tebar Inspirasi”.

Kisah mereka menggarisbawahi bahwa pembelajaran yang bermakna berakar dari kepercayaan, empati, dan kehadiran guru secara utuh di ruang kelas.

Di kelas pendidik kedua, guru-guru dalam kelas ini membuktikan bahwa karier pendidik bisa meluas ke bidang kepenulisan dan digital.

Mulai dari Ayu Rezky Pratiwi yang membawakan “Langkah Kecil Menuju Buku Pertama”, kemudian ada Ratih yang mengangkat “Kreativitas Mengajar di Era Digital”.

Selain itu ada pula Anggraeni Latif yang menggaungkan “Jadi Guru Promotor: Awalnya Canggung, Kini Jadi Ruang Bertumbuh Karier”, serta Asriani Geno dengan “Dari Buku Harian ke Buku Nyata”.

Kelas ini turut menyuarakan pentingnya menumbuhkan budaya berbagi dan dokumentasi praktik baik sebagai bagian dari pertumbuhan profesional guru.

Pada kelas pendidik ketiga, berbagai tantangan pendidikan dijawab dengan strategi kolaboratif dan pendekatan inklusif.

Diantaranya adalah, Nur Rahma dengan “Dari Pelengkap Menjadi Penggerak”, lalu ada Muhammad Taqwa Jailil yang membawakan topik “Asesmen Bermakna: Dari Pilihan Ganda ke Pilihan Berkarya”.

Di satu sisi, ada Suparmin yang menunjukkan tentang “Menumbuhkan Kepercayaan Murid Lewat Asesmen yang Transparan” dan Maurensyiah P membawakan “Dari Penolakan ke Kepercayaan: Strategi Berkontribusi di Sekolah Baru”.

Kelas ini memberi gambaran konkret bahwa kolaborasi dan keberanian untuk bertumbuh dapat mengubah dinamika sekolah secara menyeluruh.

Di kelas terakhir, yaitu kelas pendidik keempat, kisah-kisah di kelas ini mengajak guru untuk kembali percaya bahwa murid bisa, asal diberi ruang.

Diawali dengan Satang yang menunjukkan “Muridku Bukan Tak Bisa, Mereka Hanya Belum Percaya” kemudian ada Sabrianti, yang mengungkapkan “Melatih Nalar, Menyuarakan Gagasan: Cerita dari Program KIR SMA Islam Athirah”.

Lalu ada Anita Taurisia Putri yang membawa cerita tentang “Berbagi Ilmu,
Membangun Karier: Praktik Baik Menjadi Narasumber Profesional” dan Syamsul Alim Bahri dengan “Creating Lively Classes: How Educators Create Impactful Learning Journey”.

Kelas ini menjadi ruang refleksi dan inovasi, terutama bagi guru-guru muda yang ingin memperluas dampak dan menumbuhkan kreativitas dalam pengajaran.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news