
KabarMakassar.com – Gelombang kritik dari anggota DPR RI terus mengalir terkait carut-marut penyelenggaraan ibadah haji 2025.
Mulai dari keterlambatan katering, akomodasi yang tidak layak, hingga tambahan biaya yang membebani jemaah, semuanya dinilai mencoreng wajah pelayanan haji Indonesia.
Anggota Komisi VIII DPR RI, Sri Wulan, menyebut pelayanan tahun ini jauh dari kata memuaskan. Menurutnya, banyak jemaah yang tidak menerima makanan tepat waktu, bahkan ada yang mendapat hidangan tak layak konsumsi.
“Banyak sekali jemaah yang tidak mendapatkan makanan. Kompensasinya pun tidak jelas. Bagaimana mungkin pelayanan yang mestinya jadi hak jamaah justru menimbulkan penderitaan baru?” kritik Wulan, Kamis (28/08).
Ia menegaskan, kompensasi harus lebih besar daripada nilai pelayanan yang gagal diberikan. Bahkan, ia mempertanyakan asal-usul anggaran kompensasi yang terkesan tidak transparan.
“Apakah diambil dari cadangan atau pos anggaran lain? Karena jelas, untuk katering saja tidak semua dibayar lunas. Maka publik perlu tahu dari mana uang kompensasi itu berasal,” tegasnya.
Kritik juga datang di tengah momentum politik penting, pengesahan Kementerian Haji dan Umrah sebagai lembaga baru pengelola haji dan umrah, menggantikan sebagian fungsi Kementerian Agama.
Anggota DPR Fraksi PKB, Maman Imanul Haq, menekankan agar transisi kelembagaan ini tidak justru mengacaukan layanan. Menurutnya, pengalihan tugas, pegawai, dan anggaran dari Kemenag ke kementerian baru harus disiapkan dengan matang.
“Indonesia ini penyumbang jemaah terbesar di dunia. Kalau transisi ini lambat atau tidak terkoordinasi, dampaknya langsung dirasakan jamaah. Hambatan sekecil apa pun bisa menimbulkan keresahan,” ujarnya.
Maman juga mendesak agar kementerian baru segera melakukan sosialisasi kepada biro perjalanan dan masyarakat.
“Jangan sampai ada jamaah yang tertunda keberangkatannya hanya karena persoalan administratif,” tambahnya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI sekaligus Anggota Komisi VIII, Hidayat Nur Wahid, menyoroti masalah klasik lain, panjangnya antrean haji Indonesia. Dengan status baru setingkat kementerian, menurutnya, pemerintah kini punya posisi tawar lebih kuat dalam diplomasi kuota dengan Arab Saudi.
“Selama ini kuota dihitung 1:1000 penduduk Muslim. Dengan jumlah umat Islam di Indonesia mencapai lebih dari 245 juta, seharusnya kuota kita lebih dari 245 ribu, bukan hanya 221 ribu,” tegasnya.
HNW bahkan mengusulkan skema baru 2:1000, atau kerja sama dengan negara-negara yang kuotanya tidak terpakai.
“Kalau kementerian baru ini tidak berani negosiasi lebih keras, antrean haji Indonesia akan tetap ratusan tahun,” tambahnya.
Selain kuota, ia juga mengingatkan pentingnya mengakhiri praktik-praktik tidak transparan yang selama ini mencederai penyelenggaraan haji, mulai dari korupsi katering hingga pembagian kuota tambahan.
“Kementerian baru harus amanah. Jangan sampai kasus korupsi kuota terulang. Transparansi ke publik itu wajib, bukan pilihan,” pungkasnya.