
KabarMakassar.com – Rencana merger antara dua raksasa teknologi, Grab dan GoTo, menuai sorotan tajam dari Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, M. Hanif Dhakiri.
Bagi mantan Menteri Ketenagakerjaan ini, isu tersebut bukan semata urusan bisnis dan efisiensi perusahaan, tetapi menyangkut nasib jutaan pekerja digital, keberlangsungan UMKM, dan arah masa depan ekonomi digital Indonesia.
“Merger ini bukan sekadar penggabungan dua korporasi besar. Ia berpotensi mengubah struktur pasar digital secara signifikan. Negara harus hadir mengatur, mengawasi, dan melindungi, bukan sekadar jadi penonton,” tegas Hanif dalam keterangannya, Minggu (25/05).
Sebagai Wakil Ketua Umum DPP PKB, Hanif menilai langkah strategis seperti ini harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dan regulator. Menurutnya, apabila tidak diawasi sejak dini, merger antara Grab dan GoTo bisa menciptakan dominasi pasar yang merugikan dalam jangka panjang.
“Bayangkan satu entitas super-app menguasai layanan transportasi daring, pesan antar makanan, hingga sistem pembayaran digital. Ini bukan lagi soal efisiensi, tapi potensi monopoli yang bisa melemahkan daya saing dan mematikan pelaku usaha kecil,” lanjutnya.
Hanif memperingatkan bahwa merger ini bisa berdampak langsung pada nasib para mitra pengemudi yang saat ini menggantungkan hidup pada platform digital.
Ia khawatir, efisiensi pasca-merger akan berujung pada pemutusan hubungan kemitraan secara massal atau pemangkasan insentif yang berdampak pada kesejahteraan para pekerja digital.
“Dalam ekosistem seperti ini, para mitra pengemudi dan pelaku UMKM menjadi pihak paling rentan. Kita tak boleh membiarkan mereka jadi korban dari agenda besar yang menguntungkan segelintir pemegang saham,” katanya.
Hanif juga menyoroti satu aspek lain yang dinilai lebih berbahaya namun sering luput dari perhatian publik, yakni dominasi data. Menurutnya, jika merger terjadi, satu entitas bisa memiliki kendali besar atas data pengguna, transaksi keuangan, pola konsumsi, hingga sistem pembayaran digital.
“Siapa menguasai data, dia menguasai perilaku pasar. Kalau semua itu dikuasai oleh satu entitas, kita sedang menciptakan ketergantungan baru yang bisa berbahaya bagi kedaulatan digital bangsa,” ujarnya.
Sebagai anggota Dewan Pertimbangan KADIN Indonesia, Hanif menekankan bahwa data bukan sekadar aset bisnis, tetapi sumber daya strategis negara.
Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan data harus menjadi prioritas utama dalam pengawasan merger.
Hanif mendorong Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan regulator terkait lainnya untuk mengambil langkah preventif sejak dini.
Ia meminta agar proses merger dikaji secara menyeluruh dari sisi dampaknya terhadap kompetisi pasar dan perlindungan konsumen.
“KPPU dan OJK harus proaktif. Jangan menunggu masalah muncul. Struktur pasar harus tetap sehat dan tidak timpang,” ucapnya.
Ia juga menegaskan bahwa Komisi XI DPR RI akan mengambil peran aktif dalam mengawal proses merger ini agar tetap menjunjung kepentingan publik.
“Kami akan panggil semua pihak terkait. Transparansi harus dijaga, dan kepentingan rakyat harus jadi prioritas. Merger boleh, tapi jangan sampai negara kehilangan kendali dan rakyat yang menanggung risikonya,” pungkas Hanif.
Dengan semakin pesatnya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia, Hanif menilai regulasi dan pengawasan harus mengikuti laju perkembangan tersebut.
Ia mengingatkan bahwa membangun ekonomi digital yang sehat tidak cukup hanya dengan mendorong inovasi, tetapi juga memastikan keadilan, perlindungan, dan kedaulatan tetap terjaga.
“Ekonomi digital harus tumbuh bersama semua pihak, bukan hanya untuk segelintir elite teknologi. Ini soal keadilan sosial dalam era digital,” tutup Hanif.