Harga Dunia Turun, Harga Domestik Naik: Saadiah Uluputty Kritik Keras Tata Kelola Pangan

10 hours ago 2
 Saadiah Uluputty Kritik Keras Tata Kelola Pangan Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PKS, Saadiah Uluputty,

KabarMakassar.com — Masyarakat Indonesia kembali dibuat resah oleh lonjakan harga beras di pasaran. Kenaikan ini terasa semakin ironis di tengah laporan dari lembaga internasional seperti FAO dan Bank Dunia yang justru mencatat penurunan signifikan harga beras global pada April 2025.

Sementara negara-negara lain menikmati dampak dari melimpahnya pasokan, Indonesia justru seakan berjalan berlawanan arah.

Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PKS, Saadiah Uluputty, menjadi salah satu yang paling vokal menanggapi anomali ini. Ia menilai lonjakan harga domestik sebagai sinyal serius bahwa persoalan sebenarnya bukan berasal dari faktor eksternal, melainkan dari dalam negeri sendiri.

“Ini bukan semata tentang cuaca atau konflik global. Ini soal manajemen pangan kita yang tidak sehat,” kata Saadiah dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat pagi (16/5).

Berdasarkan data terkini, harga beras dunia berada di kisaran USD 343–415 per metrik ton, atau sekitar Rp5,5 juta hingga Rp6,6 juta per ton dengan kurs Rp16.000/USD.

Angka ini menandai penurunan hingga 22 persen dibandingkan tahun lalu. Beberapa faktor penyebab utamanya adalah membaiknya produksi global, dibukanya kembali keran ekspor oleh India, serta penurunan permintaan dari negara-negara pengimpor besar salah satunya Indonesia.

Namun menurut Saadiah, justru di saat negara lain berhasil menstabilkan harga, Indonesia mengalami situasi sebaliknya. Harga beras medium di dalam negeri bahkan telah melampaui Rp14.000 per kilogram di berbagai daerah, dengan kecenderungan terus naik.

Saadiah menyoroti bahwa penyebab utama lonjakan harga bukan semata-mata pada sisi produksi atau impor, melainkan pada lemahnya pengawasan dan distribusi di tingkat nasional. Ia menyebut rantai pasok beras terlalu panjang, tidak efisien, dan dikuasai oleh segelintir pihak yang mengambil untung besar dari disparitas harga.

“Kalau harga gabah di tangan petani masih rendah, tapi di konsumen bisa dua kali lipat, kita harus bertanya: ke mana aliran keuntungan itu? Ini sudah saatnya negara hadir, bukan membiarkan tengkulak dan spekulan mengatur harga,” tegas Saadiah.

Bulog juga tak luput dari kritik. Legislator dapil Maluku ini menilai penyerapan gabah oleh Bulog masih jauh dari optimal, sehingga cadangan beras pemerintah (CBP) tidak cukup kuat untuk menahan gejolak harga di pasar terbuka. Belum lagi, keterlambatan distribusi dan lemahnya koordinasi antar lembaga turut memperparah kondisi.

Saadiah juga menanggapi narasi pemerintah soal penghentian impor dan target swasembada yang belakangan kembali digaungkan. Ia mengingatkan bahwa kebijakan tersebut seharusnya tidak dijadikan pembungkus atas kegagalan tata kelola.

“Jangan hanya fokus pada kebanggaan simbolik seperti swasembada. Jika rakyat tetap sulit membeli beras dengan harga wajar, itu berarti sistem belum berjalan baik. Kita perlu reformasi total bukan tambal sulam,” ujarnya.

Ia mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap strategi stabilisasi harga pangan. Langkah konkret yang diminta antara lain, mempercepat serapan panen petani lokal, memperkuat cadangan pangan nasional, dan merancang intervensi harga yang efektif di tingkat hilir.

Pemerintah juga harus lebih transparan dalam menyampaikan kondisi pasokan dan harga kepada publik untuk meredam kepanikan serta spekulasi.

Menurut Saadiah, salah satu persoalan mendasar dalam pengelolaan pangan nasional adalah pendekatan jangka pendek yang terlalu berorientasi pada pencitraan. Ia berharap ke depan, kebijakan pangan disusun dengan pendekatan keberlanjutan yang mengedepankan keseimbangan antara kepentingan petani, konsumen, dan kestabilan pasar.

“Pangan adalah hak dasar rakyat, bukan alat kampanye atau komoditas politik. Pemerintah wajib hadir untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauannya,” pungkasnya.

Pernyataan Saadiah ini menjadi pengingat keras bagi para pemangku kebijakan bahwa krisis harga bukan hanya soal angka di pasar, tetapi menyangkut keberlangsungan hidup jutaan warga, khususnya masyarakat kecil yang paling rentan menghadapi gejolak pangan.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news