
KabarMakassar.com — Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ismail Bachtiar, mendorong terbentuknya koperasi-koperasi desa dan kelurahan yang berlandaskan nilai-nilai syariah.
Dorongan ini ia sampaikan dalam Rapat Kerja bersama Menteri Koperasi dan UKM RI, Budi Arie Setiadi, yang membahas implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang percepatan pembentukan koperasi di tingkat desa dan kelurahan.
Sebagai wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sulawesi Selatan II, Ismail menilai kebijakan percepatan pembentukan koperasi di desa dan kelurahan merupakan peluang strategis untuk membangun ekonomi rakyat. Namun, ia mengingatkan bahwa koperasi-koperasi yang terbentuk ke depan harus berorientasi pada keberlanjutan, integritas, dan prinsip keadilan, salah satunya melalui pendekatan syariah.
“Saya mau mendorong koperasi ke depan kita memasukkan konsep Syariah Kenapa konsep pengeluaran koperasi Syariah guna menghindari bapak-bapak semua dari gangguan jin dan setani,” Kelakar Ismail di hadapan Menteri Budi Arie.
Dengan bahasa lugas namun bernuansa peringatan, Ismail menyampaikan bahwa koperasi konvensional kerap menjadi celah masuknya praktik ekonomi yang tidak sehat. Ia bahkan secara metaforis menyebut bahwa pengelolaan koperasi tanpa prinsip syariah rentan membuka pintu bagi ‘gangguan jin dan setan’ dalam bentuk tipu daya ekonomi.
“Ini barang rawan, Pak Menteri. Jadi kita harus buat mitigasi risiko yang kuat,” tegas Ismail.
Ismail juga menyoroti maraknya penipuan berkedok koperasi yang kini menjamur di platform media sosial. Ia mencontohkan, banyak beredar iklan rekrutmen anggota koperasi dengan janji gaji fantastis, bahkan hingga Rp8 juta, tanpa dasar kegiatan usaha yang jelas. Menurutnya, hal ini terjadi karena lemahnya sistem pengawasan di lapangan.
“Mohon maaf Pak Menteri, saya harus sampaikan apa adanya. Sekarang di TikTok banyak sekali modus penipuan berkedok koperasi. Gaji 8 juta, tapi kosong isinya. Korbannya sudah ada. Kenapa bisa begini? Karena kita longgar dalam pengawasan,” jelas Ismail.
Lebih lanjut, ia mengkritik pola kerja Kementerian Koperasi yang cenderung terpusat di kegiatan seremonial dan belum menyentuh realitas lapangan. Ia membandingkan dengan pendekatan yang dilakukan Menteri Desa dan pimpinan lembaga tinggi negara lain yang berani terjun langsung ke masyarakat.
“Pak Menteri, jangan hanya turun ke hotel untuk acara seremonial. Lihat Menteri Desa yang bisa hadir langsung di balai desa. Bahkan Ketua MPR saya lihat kemarin turun langsung ke Kendari. Itu teladan. Kementerian Koperasi harus lebih dekat ke rakyat,” tegasnya.
Ismail kemudian mengingatkan bahwa keberhasilan program koperasi desa tidak cukup hanya dengan regulasi. Diperlukan komitmen pengawasan, pembinaan langsung, dan pendekatan berbasis nilai.
Sehingga Kementerian Koperasi untuk lebih aktif membina, mengawasi, dan mengawal program pembentukan koperasi desa. Ia berharap agar Instruksi Presiden tidak hanya menjadi dokumen kebijakan, tetapi benar-benar terealisasi dalam bentuk koperasi-koperasi produktif dan amanah di seluruh pelosok negeri.
Sementara itu di Sulsel, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih menjadi prioritas dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel.
Untuk progresnya sendiri, tercatat ada tujuh kabupaten/kota yang telah merampungkan proses pembentukan koperasi sesuai arahan pemerintah pusat.
Diantaranya adalah Kabupaten Takalar, Kabupaten Kepulauan Selayar, Kabupaten Maros, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Barru, serta Kota Parepare.
Sekretaris Provinsi (Sekprov) Sulsel, Jufri Rahman mengungkapkan sejumlah wilayah yang ada di Sulsel segera menyusul pembentukan Koperasi Merah Putih tersebut.
“Masih ada 17 wilayah yang dalam proses, dan di antaranya 11 kabupaten/kota yang capaian progresnya di bawah 50 persen,” tukasnya usai Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah dan Sosialisasi Inpres Nomor 9 Tahun 2025 secara virtual di Kantor Gubernur Sulsel pada Senin (19/05).
Ia mengatakan, nantinya, setiap desa/kelurahan akan mendapatkan plafon anggaran koperasi mencapai Rp3 miliar.
Akan tetapi, untuk pencairan biayanya sendiri, bergantung pada proposal yang diajukan oleh masing-masing desa serta penilaian dari pihak perbankan yang telah ditunjuk oleh pemerintah.
Ditegaskan jika dana yang diberikan merupakan pinjaman koperasi dan bukan hibah, yang menandakan bahwa dana itu wajib untuk dikembalikan lagi.
“Dinilai oleh bank, persepsi terhadap proposal itu berapa anggaran yang layak sesuai dengan proposal. Umpamanya, proposalnya mengajukan paling tinggi Rp3 miliar dan dihitung-hitung oleh bank cocoknya Rp500 juta, itu saja yang dicairkan dan itu dibayar ulang oleh koperasi yang bersangkutan, jadi bukan hadiah, dikembalikan,” jelas Jufri.