Makassar Dihadapkan pada Ancaman Krisis Ruang Hijau dan Pangan

2 weeks ago 12
Makassar Dihadapkan pada Ancaman Krisis Ruang Hijau dan PanganWali Kota Makassar Munafri Arifuddin di Musyawarah Tani Abbulo Sibatang, (Dok: Ist).

KabarMakassar.com — Suasana perubahan wajah Kota Makassar kini mulai menuai keresahan. Lahan persawahan yang dulu menjadi benteng hijau dan penopang ketersediaan pangan perlahan hilang, terdesak oleh deretan perumahan, pusat perbelanjaan, dan proyek infrastruktur baru.

Menurut data Makassar yang kini berpenduduk sekitar 1,4 juta jiwa. Kebutuhan beras bulanan mencapai 10–11 ton, sementara lahan sawah yang tersisa hanya sekitar 1.300–1.400 hektare.

Dampak dari alih fungsi lahan itu bukan sekadar hilangnya ruang produktif, melainkan ancaman ekologis dan sosial yang kian nyata. Suhu udara di kawasan perkotaan terus meningkat, resapan air semakin terbatas, dan ketergantungan pangan pada daerah luar kota makin besar.

“Kalau sawah habis, kita bukan hanya kehilangan ruang hijau, tapi juga sumber kehidupan,” ungkap warga Rini (38) yang khawatir Makassar suatu saat hanya akan dipenuhi bangunan tanpa ruang hijau.

Merespon hal tersebut, Sekretaris Komisi B DPRD Makassar, Andi Tenri Uji Idris, mengakui bahwa masalah ini tidak bisa dipandang sederhana. Mayoritas sawah yang ada merupakan milik warga. Faktor ekonomi serta perubahan gaya hidup membuat banyak orang memilih melepas lahannya kepada pengembang.

“Sebenarnya kita tidak bisa menahan orang untuk menjual lahannya. Ada yang karena kebutuhan ekonomi, ada pula yang memang sudah tidak ingin lagi jadi petani. Kawasan ini sudah masuk wilayah perkotaan, jadi motivasi mereka juga berubah,” jelasnya, Rabu (27/08).

Namun, ia mengingatkan bahwa pembangunan tidak boleh dibiarkan mengorbankan keseimbangan ekologis. Menurutnya, pemerintah harus menetapkan zona khusus persawahan atau penghijauan permanen, yang tidak bisa dialihfungsikan meski ada desakan dari investor.

Lebih jauh, Andi Tenri menyoroti tata kelola perizinan pembangunan di Makassar yang kerap dianggap longgar. Pemerintah disebutnya harus lebih selektif dalam mengeluarkan izin, serta memastikan kebijakan sesuai dengan rencana tata ruang kota (RTRK).

“Kuncinya ada di tata kelola. Kalau izin pembangunan dikelola dengan ketat, persawahan bisa tetap terjaga di tengah pesatnya pembangunan,” tegasnya.

Ia bahkan menekankan pentingnya keterlibatan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam setiap proses jual-beli lahan. Dari pengecekan BPN, dapat dipastikan apakah tanah yang dijual masuk dalam kawasan hijau yang wajib dilestarikan atau tidak.

Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh pengamat lingkungan dan Pemberhati Anak Jalanan Sulkia Reski. Menurutnya, tren hilangnya sawah di Makassar akan membawa konsekuensi panjang.

“Persawahan bukan hanya soal pangan, tapi juga fungsi ekologis. Jika ruang hijau produktif ini hilang, Makassar akan menghadapi masalah iklim mikro: suhu kota lebih panas, potensi banjir meningkat, dan cadangan pangan lokal menipis,” ujarnya.

Sulkia juga menekankan perlunya regulasi ketat berbasis keberlanjutan. “Pemerintah jangan hanya fokus pada percepatan investasi. Pembangunan boleh maju, tapi kalau kota kehilangan sawahnya, sama saja Makassar kehilangan nafasnya,” tambahnya.

Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin yang akrab disapa Appi, menegaskan bahwa meski Makassar adalah wilayah perkotaan, siklus pertanian harus tetap berjalan.

Ia mengingatkan bahwa lahan yang makin terbatas menuntut pemanfaatan teknologi pertanian secara penuh, terutama lewat kemitraan antara petani, perguruan tinggi, dan Kementerian Pertanian.

“Saya harap Fakultas Pertanian dan para guru besar terus memberi bimbingan. Kita harus memanfaatkan setiap jengkal lahan yang ada,” ujarnya.

Appi menyoroti masih dominannya metode konvensional di kalangan petani. Ia mendorong keterlibatan generasi muda, khususnya di Kecamatan Biringkanaya, untuk mengadopsi digitalisasi dan teknologi pertanian.

Mengacu pada program nasional swasembada pangan dalam Asta Cita Presiden RI, ia menyebut pemerintah pusat terus mencetak lahan sawah baru untuk mengurangi ketergantungan impor beras.

Namun di Makassar, solusi yang dipilih adalah urban farming berbasis komunitas RT/RW, yang juga diintegrasikan dengan pengelolaan sampah.

“Jika pertaniannya tumbuh subur dan sampah terkelola, insya Allah Makassar akan menjadi kota yang lebih baik,” tegasnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news