KabarMakassar.com — Pemerintah Kota Makassar menyiapkan dana sebesar Rp 900 juta untuk mendukung kegiatan sosialisasi menjelang pelaksanaan pemilihan serentak ketua Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) yang dijadwalkan berlangsung pada Juni 2025.
Kegiatan ini mencakup seluruh wilayah kota, dengan total 4.965 RT dan 992 RW yang akan mengalami pergantian kepengurusan.
Kepala Bagian Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Setda Kota Makassar, Andi Anshar, mengatakan bahwa anggaran tersebut difokuskan pada penyebaran informasi dan edukasi masyarakat agar memahami secara menyeluruh proses dan regulasi pemilihan yang akan dijalankan di tingkat lokal.
“Anggaran sebesar Rp 900 juta ini memang disiapkan khusus untuk sosialisasi di 15 kecamatan. Kami ingin masyarakat betul-betul paham sebelum masuk ke hari pemilihan. Ini menyangkut legitimasi proses di level paling dasar pemerintahan,” ujar Anshar, Senin (9/6).
Sosialisasi yang dimaksud tidak sekadar berupa penyebaran selebaran atau baliho, tetapi juga mencakup penyuluhan langsung di kelurahan, penyampaian materi edukatif, serta simulasi teknis pelaksanaan pemilihan. Tujuannya adalah menciptakan partisipasi yang aktif dan terinformasi dari seluruh lapisan masyarakat.
Anshar menjelaskan bahwa strategi pelaksanaan sosialisasi diserahkan kepada masing-masing kecamatan dengan tetap mengacu pada pedoman yang telah ditetapkan pemerintah kota. Skema ini dinilai lebih fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan di lapangan.
“Setiap kecamatan punya karakteristik yang berbeda, baik dari sisi jumlah TPS, luas wilayah, maupun tingkat partisipasi warga. Karena itu kami berikan ruang bagi kecamatan menyusun teknisnya sendiri, selama prinsip transparansi dan partisipasi tetap dijaga,” jelasnya.
Pemilihan RT dan RW serentak ini menjadi momentum penting bagi Kota Makassar dalam memperkuat struktur pemerintahan dari bawah. Pemkot berharap pelaksanaan pemilihan dapat berjalan demokratis, terbuka, dan menjangkau seluruh warga, termasuk mereka yang belum familiar dengan proses pemilihan di level lingkungan.
Selain edukasi teknis, materi sosialisasi juga akan menitikberatkan pada peran strategis RT dan RW sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah. Ketua RT dan RW tidak hanya bertugas administratif, tetapi juga memainkan peran penting dalam pelayanan sosial, keamanan lingkungan, dan distribusi informasi kebijakan pemerintah.
“Ini bukan soal memilih siapa, tapi bagaimana warga menyadari pentingnya peran RT dan RW dalam kehidupan sehari-hari. Jadi kami ingin semua pihak terlibat dan merasa memiliki proses ini,” kata Anshar.
Proses pemilihan dijadwalkan berlangsung di 15 kecamatan dan 153 kelurahan. Setiap kelurahan akan menyesuaikan jadwal dan lokasi pemilihan berdasarkan kesiapan logistik dan jumlah pemilih. Pemilihan dilakukan secara terbuka dengan sistem pemungutan suara di tempat pemilihan sementara (TPS) lingkungan masing-masing.
Langkah Pemkot Makassar ini diapresiasi oleh sejumlah tokoh masyarakat sebagai bentuk penguatan demokrasi lokal. Menurut mereka, keberhasilan pemilihan RT dan RW yang bersih dan partisipatif akan berdampak besar pada kualitas pelayanan pemerintah di tingkat bawah.
Salah satu tokoh warga Kecamatan Biringkanaya, H. Ismail Daeng Beta, menilai pendekatan edukatif ini sangat dibutuhkan, terutama untuk membangun kesadaran warga tentang pentingnya memilih pemimpin lingkungan secara jujur dan bijak.
“Kalau dulu orang pilih karena kedekatan pribadi saja, sekarang harus tahu tanggung jawabnya. Edukasi ini penting agar masyarakat tidak asal pilih,” ungkapnya.
Sementara itu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Adi Akbar, mengingatkan agar dalam proses pemilihan RT/RW tidak boleh ada campur tangan pihak-pihak yang mengklaim sebagai tim pemenangan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar.
Pasalnya, Ia menerima banyak laporan dari warga mengenai campur tangan pihak-pihak yang mengklaim sebagai tim pemenangan Wali Kota, dan merasa berwenang mengatur struktur pemerintahan mulai dari RT, RW, hingga ke kelurahan.
Menurut Adi, fenomena ini bukan hanya meresahkan masyarakat, tetapi juga berpotensi menimbulkan kekacauan struktural dalam pemerintahan lokal.
Ia menyebut bahwa setelah Pilkada, muncul banyak individu yang merasa menjadi bagian dari ‘kubu pemenang’ dan kemudian mencoba mengambil peran dalam pengaturan kinerja RT/RW.
“Pertama, memang ada sebagian keluhan masyarakat yang masuk kepada saya. Mereka mengeluh karena setelah kontestasi politik usai, muncul orang-orang yang mengatasnamakan tim pemenangan Wali Kota lalu ingin mengatur urusan RT dan RW,” kata Adi.
Ia menegaskan bahwa hal ini sangat tidak sesuai dengan tatanan pemerintahan yang berlaku.
RT dan RW, jelasnya, memiliki posisi formal dalam struktur pemerintahan kelurahan dan berada di bawah pengawasan lurah serta camat.
Oleh karena itu, upaya intervensi dari luar pemerintahan, apalagi dari pihak yang tidak memiliki kewenangan struktural, merupakan bentuk pelanggaran terhadap sistem yang berlaku.
“Kalau kita bicara struktur, RT dan RW itu punya atasan resmi. Mereka berada di bawah kelurahan. Kalau ada pihak luar yang merasa bisa memberi arahan atau bahkan mengatur, itu jelas keliru dan bisa mengganggu kinerja pemerintahan,” ujar Adi.