
KabarMakassar.com — Lebih dari ratusan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Sulawesi Selatan (Sulsel) mengalami kerusakan.
Daya dukung DAS tersebut harus segera dipulihkan, termasuk beberapa komponen biofisik yang telah mengalami kerusakan.
Itu ditegaskan oleh Ketua Forum DAS, Usman Arsyad pada Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (RPDAS) Bila Wanae Sulsel.
Diketahui, pemutakhiran dokumen RPDAS tersebut digagas oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sulsel, BPDAS, juga Forum DAS, bekerja sama dengan ICRAF Indonesia dalam riset-aksi Land4Lives yang didukung oleh Pemerintah Kanada.
“Kondisi DAS di Sulawesi Selatan itu banyak yang rusak, lebih dari 100 DAS di Sulawesi Selatan itu kondisinya sudah harus dipulihkan daya dukungnya,” tukas Usman pada Senin (26/05).
Terkait dengan DAS, kata Usman, telah tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan serta Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2015 tentang Pengelolaan DAS di Sulsel.
Ia turut menyatakan, saat ini terjadi perubahan tutupan lahan yang berupa hutan dan pertambahan lahan kritis.
Usman menyebut indikator kerusakan dapat dilihat dari intensitas bencana yang acap kali terjadi.
“Jadi lebih sering terjadi banjir ditambah dengan longsor dan dengan kekeringan.
Ditambah lagi dengan kebakaran-kebakaran yang lain,” paparnya.
Kasubbag perencanaan BPDAS Jeneberang-Saddang, Selly Oktavia Hariany mengatakan bahwa tahun 2025 ini DAS prioritas penanganan masih DAS Bila Wanae dan Saddang.
“Kita kan punya 14 DAS prioritas di Provinsi Sulsel tapi ada juga yang lintas provinsi, semuanya ini prioritas penanganannya karena dia dalam posisi kritis,” ucapnya.
Sejumlah penanganan, ungkap Selly, telah dilakukan, mulai dari kolaborasi dengan DLHK Sulsel, Kesatuan Pengelolaan Hutan dan instansi lain.
“Terutama terkait sumur resapan air dan juga instalasi penampungan air hujan. Ada pula pembagian bibit produktif untuk ditanam oleh masyarakat,” imbuhnya.
Kabid DAS dan Konservasi DLHK Sulsel, Nazaruddin Kammisi menyatakan keseluruhan luas lahan kritis ada sekitar 122.000 hektar di Sulsel.
“Khusus untuk DAS Bila Walanae ini hanya 22 persen, itu sekitar 167 sekian hektar itu harapannya pemerintah untuk tetap diberdayakan semua,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur CIFOR-ICRAF country program Indonesia, Andree Ekadinata, membeberkan kendala dalam pengelolaan DAS.
Ia menyoroti bagaimana kehadiran manusia dalam DAS tersebut, sehingga penanganannya tidak hanya terkait komponen benda mati semata.
Lebih jauh ia menekankan perpaduan lebih dari satu tanaman mampu menciptakan fungsi ganda untuk masyarakat.
“Kami percaya bahwa dalam satu bentang lahan itu jika kita mencampurkan antara tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian kita dapat menciptakan bentang lahan yang punya fungsi ganda. Yaitu fungsi pelindung serta fungsi ekonomi bagi masyarakat,” jelasnya.
Melalui Sustainable Landscapes for Climate-Resilient Livelihoods atau Land4Lives, ICRAF dapat membantu Pemerintah Provinsi Sulsel membangun rencana pengelolaan DAS.
“Yang di dalamnya itu juga memperhatikan bagaimana penghidupan petani lewat agroforestri,” pungkasnya.
Sebagai informasi, luas DAS Bila Walanae yaitu 744.896 hektar, terbagi dalam 6 sub DAS Batu Puteh, Malanroe, Mario, Minrelang, Sanrego dan Bila Walanae.
Hal tersebut masuk dalam 8 wilayah administrasi, diantaranya adalah Kabupaten Barru, Bone, Enrekang, Maros, Pangkep, Sidenreng Rappang, Wajo dan Soppeng.
Sebagian besar DAS Bila Walanae tercakup dalam kategori rawan bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor.
Luasan area rawan bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor berturut-turut yaitu, 15 persen, 32 persen dan 27 persen dari total luas DAS.