KabarMakassar.com — Polisi menetapkan warga bernama Ambo Masse (64) sebagai tersangka, atas dugaan melakukan pembabatan terhadap 6 hektar mangrove di Kabupaten Maros. Penetapan ini dilakukan setelah Polres Maros melakukan penyelidikan.
Diketahui, Ambo Masse melakukan pembabatan lahan hutan mangrove di Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, diduga dirinya telah memiliki sertifikat (SHM) seluas 6 hektar.
“Sudah (ditetapkan tersangka). Penetapannya sebagai tersangka itu hari Senin,” ujar Kanit Tipidter Satreskrim Polres Maros, Iptu Wawan, kepada wartawan, Kamis (06/02).
Wawan menerangkan, atas dugaan kasus pembabatan lahan hutan mangrove tersebut, pihak penyidik menerapkan pasal terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kepada Ambo Masse.
“Pasal 98 Ayat 1 Undang Undang 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” sebutnya.
Sementara itu, Kasi Humas Polres Maros, Ipda Marwan menuturkan bahwa Ambo Masse akan dimintai keterangan oleh Polres Maros dalam waktu dekat ini sebagai tersangka.
“Sudah dilayangkan pemanggilan tersangka atas nama AM,” tutur Marwan.
Marwan membeberkan, bahwa pemanggilan pertama Ambo Masse untuk diperiksa akan berlangsung pada hari Kamis (06/02) hari ini.
Disisi lain, Ambo Masse mengaku bahwa lahan hutan mangrove seluas 6 hektar tersebut sudah ada sejak tahun 2009 silam.
“Tahun 2009 saya yang punya. Dulu itu pertama dibeli dari Haji Abu Baidah, lahannya itu milik orang tuanya. Kalau surat akta jual beli, saya tidak tahu membaca, harganya waktu itu Rp 200 juta,” kata Ambo Masse kepada wartawan, Selasa (04/02).
Setelah Ambo membeli lahan tersebut, ia mengaku sempat melakukan penebangan di kawasan hutan manggrove, karena melihat pemerintah pada tahun 2001 melakukan pembabatan hutan mangrove untuk pengerjaan jalan.
“Saya itu melakukan menebang, karena ada dasarnya pemerintah merintis membangun jalanan. Jadi saya ikut juga, karena saya pikir tidak ada apa-apanya, tidak dilarang menebang api-api, karena aku punya,” ungkapnya.
Namun, ia mengaku kaget ketika didatangi oleh sejumlah anggota dari Polres Maros untuk dimintai keterangan terkait pengrusakan kawasan hutan mangrove.
“Kepala desa, pak dusun diakui saya sebagai hak milik. Waktu saya beli ini sudah berbentuk empang,” jelasnya.
Ambo Masse mengaku bahwa dirinya tidak pernah mengurus sertifikat lahan mangrove tersebut, karena sudah ada sertifikat lahan sebelumnya.
“Saya tidak pernah mengurus dan tidak berani datang ke BPN, karena saya pikir ini sudah resmi, karena ada sertifikatnya menurut saya,” pungkasnya.
Sebelumnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Maros angkat bicara persoalan lahan hutan mangrove di Kabupten Maros, yang telah memiliki sertifikat hak milik (SHM) seluas 6 hektar.
Sertifikat hak milik lahan mangrove tersebut terbit pada tahun 2009 silam, diduga milik seorang warga, inisial AM.
“Dengan rinci itu, maka sertifikat yang timbul adalah sertifikat hak milik. Nah pada tahun 2009 itu lokasi yang dimaksud itu belum masuk dalam kawasan mangrove. Ini ada dua sertifikat yang terbit pada tahun 2009,” kata Kepala Kantor BPN Maros, Murad Abdullah kepada wartawan, Sabtu (01/02).
Kemudian pada tahun 2012 terbit peraturan daerah Nomor 4 tahun 2012, sehingga kawasan tersebut beralih menjadi kawasan mangrove dengan alasan berada di daerah pesisir.
“Maka proses hak pakai dimana pemohon bermohon untuk peningkatan menjadi hak milik itu tidak kami proses lebih lanjut, alasannya karena sekarang sudah masuk ke ranah APH dan disinyalir adanya pengrusakan mangrove,” ungkapnya.
Sementara ini, Murad mengaku bahwa pihaknya masih menunggu hasil penyelidikan dari Polres Maros terkait kasus terbitnya SHM milik AM
“Dalam hal pengrusakan mangrove dan penerbitan sertifikat yang diterbitkan kantor pertanahan Maros adalah dua hal sejajar tetapi tidak bersinggungan satu penerbitan, satu pengrusakan sehingga kembali lagi kami menunggu hasil penyelidikan dari Polres Maros. Apakah nanti kita tingkatkan hak atau pada hak pakai kita menunggu dari keputusan penyelidikan Polres Maros,” jelasnya.