
KabarMakassar.com – Polemik besaran potongan penghasilan mitra pengemudi ojek online (ojol) kembali mengemuka.
Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Andi Iwan Darmawan Aras menegaskan dukungan penuh terhadap pembatasan potongan maksimal 10 persen dari pendapatan driver. Menurutnya, langkah ini sangat penting demi menciptakan ekosistem transportasi digital yang lebih adil dan berkeadilan.
“Saya setuju, harus ada batasan tegas. Kalau 10 persen itu sudah dianggap ideal dan disepakati banyak pihak, kenapa tidak dijadikan aturan?” kata legislator Fraksi Partai Gerindra itu, dalam pesan tertulis, Jumat (23/05).
Andi Iwan menyoroti lemahnya implementasi regulasi yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan, termasuk soal pengenaan biaya jasa, biaya penunjang, dan potongan lain yang membebani pengemudi. Ia menegaskan, perusahaan aplikasi dikenal sebagai aplikator harus tunduk pada peraturan, bukan malah bermain di area abu-abu yang merugikan mitra mereka.
“Kalau aplikator tidak melaksanakan ketentuan yang sudah jelas di dalam Permenhub, tentu ada konsekuensinya. Di situ sudah disebut, Dirjen Perhubungan Darat bisa merekomendasikan sanksi,” ujar Iwan.
Politisi asal Sulawesi Selatan ini juga menyinggung potongan biaya asuransi yang kerap dibebankan kepada pengemudi. Ia mengingatkan bahwa jika memang dipotong untuk asuransi, maka manfaatnya pun harus dirasakan secara nyata oleh mitra pengemudi.
“Kalau ada potongan 5 persen untuk asuransi, pertanyaannya: apakah manfaat itu betul-betul diterima pengemudi? Kalau tidak, ini menyalahi prinsip keadilan,” tegasnya.
Menurut Iwan, hubungan antara aplikator dan mitra pengemudi ibarat dua sisi mata uang. Tidak ada aplikator yang bisa bertahan tanpa mitra, dan sebaliknya. Maka dari itu, diperlukan keseimbangan yang sehat antara keuntungan perusahaan dan kesejahteraan pengemudi.
“Saya dukung agar perusahaan tetap untung, tapi jangan sampai mengorbankan kesejahteraan driver. Ini bukan soal hitung-hitungan bisnis semata, ini menyangkut keberlangsungan hidup orang banyak,” kata Ketua DPD Partai Gerindra Sulsel ini.
Ia menambahkan bahwa berbagai pelanggaran yang dilakukan aplikator harus ditertibkan lebih dahulu sebelum membahas aturan baru. Menurutnya, banyak pengemudi yang sudah menyampaikan bukti pelanggaran kepada Komisi V DPR, mulai dari potongan tidak transparan hingga fasilitas yang tak pernah dirasakan meski sudah dipotong.
“Kita harus fokus menegakkan aturan yang ada lebih dulu. Setelah itu, kita bisa bicara soal revisi atau pembentukan undang-undang baru,” imbuhnya.
Terkait upaya legislasi, Iwan menjelaskan bahwa DPR akan segera mengundang Menteri Perhubungan sebagai regulator dan juga perwakilan perusahaan aplikasi untuk memberikan klarifikasi serta pendapat mereka. Ia menilai, suara pengemudi harus menjadi dasar utama dalam perumusan kebijakan ke depan.
“Setelah dengar driver, kita akan panggil regulator dan operator. Kita ingin tahu kenapa keputusan-keputusan yang menyangkut pemotongan itu diambil tanpa dasar yang jelas, atau bahkan tanpa komunikasi yang layak dengan mitra pengemudi,” tegasnya.
Ia berharap, ke depan regulasi yang disusun dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang lebih kuat bagi para pengemudi ojol di seluruh Indonesia. Menurutnya, keberadaan undang-undang transportasi online yang komprehensif sangat mendesak, terutama untuk mengatur relasi kuasa antara aplikator dan mitra.
“Intinya, kita ingin memastikan para pengemudi ini mendapatkan hak mereka secara layak dan tidak dieksploitasi secara digital. Batasan 10 persen itu bukan cuma angka itu simbol dari upaya menata ulang sistem yang lebih adil,” tutupnya.