
KabarMakassar.com – Ribuan tenaga honorer di lingkup Pemerintah Kota Makassar dipastikan tidak lagi menerima gaji mulai Mei 2025. Kebijakan ini diambil sebagai tindak lanjut aturan pemerintah pusat yang meniadakan status kepegawaian honorer dalam sistem administrasi Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Kepala BKPSDMD Kota Makassar, Akhmad Namsum, menjelaskan bahwa penghentian pembayaran gaji tersebut menyasar honorer yang tidak mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dari total lebih dari 11 ribu tenaga honorer di Kota Makassar, hanya sekitar 8 ribu yang mengikuti seleksi PPPK tahap pertama dan kedua.
“Sekitar 3 ribu lebih tenaga honorer terdampak. Sebagian besar dari mereka adalah petugas kebersihan, mencapai lebih dari 2.600 orang,” ujar Namsum, Jumat (16/05).
Ia menjelaskan, tenaga honorer yang tidak memenuhi syarat seleksi PPPK kebanyakan terkendala latar belakang pendidikan. Sebagian besar hanya lulusan SD, bahkan ada yang tidak mengenyam pendidikan formal, sehingga tidak bisa melamar formasi yang tersedia dalam skema PPPK.
“Dari sisi kualifikasi pendidikan dan formasi, mereka memang tidak punya peluang. Tapi pemerintah kota tetap mencarikan solusi agar mereka tetap bisa bekerja,” imbuhnya.
Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah pengalihan ke skema semi outsourcing, di mana penyaluran tenaga kerja dilakukan melalui pihak ketiga atau perusahaan jasa kebersihan.
Sementara itu, honorer dari kategori teknis, guru, dan tenaga kesehatan akan dikembalikan ke masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD) untuk dikaji kebutuhannya.
Jika OPD masih memerlukan jasa tenaga tersebut, kata Namsum, rekrutmen akan dilakukan melalui mekanisme pengadaan jasa perseorangan, mengikuti sistem yang telah diterapkan di beberapa daerah lain seperti DKI Jakarta.
“Pengadaan ini tetap mengacu pada regulasi, melalui Unit Layanan Pengadaan (ULP). Saat ini kita juga sedang menjajaki penguatan regulasinya di Jakarta,” jelasnya.
Akhmad menegaskan bahwa meski secara administratif status honorer dihapus, Pemkot Makassar tetap berkomitmen mencari solusi agar pegawai yang terdampak tetap bisa terserap dalam sistem kerja yang sesuai aturan.
Sebelumnya diberitakan, Ribuan tenaga kontrak di lingkungan Pemerintah Kota Makassar terpaksa belum bisa mengikuti seleksi ASN Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun ini.
Data dari Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) mencatat, sekitar 3.000 dari total 11.000 tenaga kontrak tidak terlibat dalam proses seleksi tahap pertama dan kedua.
Kepala BKPSDM Makassar, Akhmad Namsum, mengungkapkan bahwa sebagian besar dari mereka merupakan tenaga kebersihan yang terkendala persyaratan administrasi, seperti ijazah yang tidak sesuai atau tidak memiliki kualifikasi pendidikan minimal.
“Dari 11.000 tenaga kontrak, yang ikut seleksi sekitar 8.000 orang. Selebihnya, banyak yang tidak bisa mendaftar karena hanya memiliki ijazah SMP atau SMA, atau bahkan tidak punya ijazah,” jelas Namsum, Jumat (16/05).
Kendati tidak berkesempatan mengikuti seleksi tahun ini, Namsum memastikan bahwa tenaga kontrak yang belum terserap dalam formasi PPPK akan tetap difasilitasi oleh Pemerintah Kota Makassar melalui skema pemanfaatan jasa perorangan.
“Status mereka nantinya bukan lagi pegawai kontrak, tetapi dialihkan ke sistem penggunaan jasa perorangan. Penghasilan mereka tetap dianggarkan dari APBD, tidak akan berubah,” tegasnya.
Langkah ini diambil untuk menjaga keberlanjutan pendapatan tenaga non-ASN sembari menunggu kemungkinan seleksi PPPK berikutnya.
Pemerintah daerah juga tengah melakukan pengkajian lebih lanjut untuk memastikan semua pegawai tetap mendapat perlindungan kerja.
Dalam seleksi PPPK yang digelar selama empat hari tersebut, kuota formasi terbagi atas tenaga pendidik, tenaga teknis, dan tenaga kesehatan. Pemerintah berharap peserta yang memenuhi syarat dapat memaksimalkan kesempatan ini.
“Proses seleksi ini sebenarnya dirancang untuk tenaga honorer yang sudah mengabdi minimal dua tahun. Bagi yang belum mendapat formasi, mereka tetap masuk dalam database dan bisa berstatus sebagai pegawai paruh waktu,” tambah Namsum.
Sistem ini memastikan bahwa tidak ada tenaga kerja yang diabaikan, meski belum berstatus ASN. Gaji tenaga paruh waktu ini tetap dibebankan ke pemerintah daerah, bukan dari Dana Alokasi Umum (DAU) pusat.