
KabarMakassar.com — Meski perekonomian Sulawesi Selatan (Sulsel) tumbuh kuat pada kuartal pertama 2025, sektor perbankan di wilayah ini justru menunjukkan pertumbuhan yang cenderung moderat.
Hal ini menjadi perhatian Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengingat kesenjangan antara kinerja perbankan dan pertumbuhan ekonomi dapat berdampak pada stabilitas keuangan jangka panjang.
OJK mencatat bahwa hingga Maret 2025, aset perbankan di Sulsel tercatat sebesar Rp204,99 triliun, tumbuh 5,91% secara tahunan (year-on-year/yoy).
Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun mencapai Rp137,34 triliun atau meningkat 6,55% yoy. Sementara penyaluran kredit mencapai Rp165,78 triliun, hanya tumbuh 3,76% yoy.
Pertumbuhan perbankan ini dinilai tidak sebanding dengan laju pertumbuhan ekonomi Sulsel pada kuartal I/2025 yang mencapai 5,78% yoy, lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang berada di angka 4,87%.
Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) OJK Sulselbar, Budi Susetiyo, mengungkapkan bahwa pendorong utama pertumbuhan ekonomi Sulsel saat ini adalah sektor pertanian.
Kenaikan produksi padi yang signifikan hingga 139% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi kontributor penting, disusul hasil panen dari komoditas pertanian lainnya.
Namun, Budi menyoroti bahwa hasil pertanian tersebut belum sepenuhnya masuk ke sistem perbankan. Banyak petani di Sulsel yang memilih untuk tidak mengonversi hasil panennya menjadi uang tunai.
Mereka cenderung menyimpannya dalam bentuk lain seperti emas atau komoditas olahan yang dapat dijual secara bertahap di waktu mendatang.
“Contohnya petani cengkeh di Bulukumba. Banyak dari mereka menyimpan cengkeh hasil panen dalam bentuk olahan yang diawetkan dan tidak langsung dijual. Cengkeh ini bisa disimpan bertahun-tahun dan dijual sedikit demi sedikit untuk hasil maksimal,” jelas Budi.
Kondisi ini membuat kinerja perbankan tidak sepenuhnya mencerminkan geliat ekonomi yang sebenarnya. Hal ini juga tercermin dari rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan di Sulsel yang cukup tinggi, mencapai 122%.
LDR tinggi mengindikasikan permintaan kredit yang besar, namun tidak diimbangi oleh pertumbuhan DPK yang memadai.
“LDR yang tinggi itu artinya banyak masyarakat mengajukan kredit, tapi jumlah dana pihak ketiga yang disimpan di bank masih terbatas. Rata-rata DPK di Sulsel sempat tercatat hanya sekitar Rp30 triliun,” lanjut Budi.
Ia menekankan bahwa situasi ini sudah berlangsung cukup lama dan menjadi tantangan tersendiri bagi sektor keuangan.
OJK menilai penting untuk meningkatkan literasi dan kepercayaan masyarakat, khususnya pelaku sektor pertanian, terhadap sistem perbankan. Edukasi agar masyarakat menyimpan hasil usahanya di lembaga keuangan formal menjadi salah satu solusi yang didorong.
“Sebagian hasil pertumbuhan ekonomi ini belum masuk ke dunia perbankan. Kita harus mulai berpikir bagaimana agar perbankan di Sulsel bisa mengimbangi pertumbuhan ekonomi yang terjadi,” imbuhnya.
Selain itu, volume industri perbankan syariah di Sulsel juga masih tergolong kecil. Meskipun mencatatkan pertumbuhan yang tinggi secara persentase, kontribusinya terhadap total volume perbankan masih belum signifikan.
“Pertumbuhan perbankan syariah memang besar dari sisi persentase, tapi volumenya masih rendah. Ini juga menjadi tantangan tersendiri dalam upaya mendorong pertumbuhan kinerja perbankan secara menyeluruh,” tambah Budi.
Dengan kondisi tersebut, OJK mengajak semua pihak, termasuk pelaku sektor pertanian dan pemerintah daerah, untuk lebih aktif berkolaborasi dalam membangun kesadaran finansial masyarakat. Tujuannya adalah agar pertumbuhan ekonomi Sulsel dapat berdampak langsung pada penguatan sistem keuangan dan perbankan di wilayah tersebut.