Daya Saing Ekspor Terkikis, Mimpi Buruk Bagi Eksportir Sulsel

5 hours ago 2

KabarMakassar.com – Kekhawatiran mulai dirasakan pelaku usaha ekspor di Sulawesi Selatan (Sulsel) menyusul kebijakan tarif dagang baru yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS). Kebijakan ini dikhawatirkan bakal menekan daya saing komoditas ekspor unggulan Sulsel di pasar internasional.

Ketua DPD Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Sulselbar, Arief R Pabettingi, menyebut bahwa AS merupakan pasar penting bagi ekspor Sulsel, khususnya untuk komoditas seperti rumput laut, kakao, dan produk perikanan.

“Jika tarif masuk di AS semakin tinggi, harga produk kita akan ikut naik dan otomatis tidak lagi kompetitif. Ini tentu mengancam daya saing komoditas unggulan Sulsel,” kata Arief, Senin (21/04).

Menurutnya, peningkatan tarif dagang akan memicu berbagai dampak negatif seperti penurunan volume ekspor, menyusutnya pendapatan petani, hingga potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri pengolahan.

Arief menjelaskan bahwa ongkos produksi dan distribusi yang terus meningkat, ditambah tekanan harga di pasar tujuan, akan memaksa eksportir mengurangi volume penjualan dan produksi. Akibatnya, margin keuntungan menjadi sempit dan efisiensi usaha terganggu.

“Kalau ekspor turun, petani terkena dampaknya langsung karena permintaan dari industri juga turun. Ini bisa memperburuk kondisi ekonomi lokal,” jelasnya.

Ia juga menyinggung dampak yang lebih luas, termasuk kemungkinan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah dan berkurangnya penerimaan pajak negara dari sektor ekspor.

Sebagai langkah antisipatif, Arief mendorong pemerintah pusat untuk segera melakukan negosiasi bilateral dengan AS guna membahas ulang kebijakan tarif tersebut.

“Selain itu, pemerintah perlu mempercepat diversifikasi pasar ekspor ke kawasan Asia, Timur Tengah, dan Eropa Timur agar kita tidak terlalu bergantung pada pasar AS,” tambahnya.

Ia menilai, tantangan ini juga bisa menjadi peluang untuk mendorong pelaku ekspor meningkatkan kualitas produk dan efisiensi produksi guna memperluas penetrasi ke pasar global yang lebih beragam.

Sebelumnya diberitakan, Pengamat ekonomi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Murtiadi Awaluddin, menyebut kebijakan ini berpotensi memicu tekanan besar terhadap beberapa sektor vital, sekaligus meningkatkan risiko resesi jika tidak ditanggulangi dengan cepat dan tepat.

“Tarif 32 persen ini akan langsung memukul daya saing produk Indonesia di pasar Amerika. Kita tahu sektor seperti tekstil, alas kaki, elektronik, hingga produk makanan sangat tergantung pada ekspor ke sana,” ujar Murtiadi, Jumat (4/4).

Ia menambahkan bahwa tarif tinggi akan membuat produk Indonesia menjadi lebih mahal bagi konsumen dan pelaku industri di AS. Akibatnya, permintaan bisa menurun tajam, dan perusahaan Indonesia yang bergantung pada pasar AS akan mengalami penurunan pesanan.

“Ini bukan hanya soal ekspor turun. Industri di dalam negeri yang memproduksi barang untuk AS bisa mengurangi produksi atau bahkan melakukan PHK jika tekanan berlarut,” ujarnya.

Murtiadi menyoroti bahwa industri tekstil dan manufaktur menjadi sektor paling rentan terhadap kebijakan ini.

“Sektor ini padat karya, dan jika terjadi kontraksi, dampaknya bisa menyentuh jutaan pekerja,” kata dia.

Tak hanya itu, ketidakpastian akibat perang dagang juga bisa mengganggu minat investor asing, terutama mereka yang selama ini menjadikan Indonesia sebagai basis produksi untuk ekspor ke AS.

“Investor bisa mulai mempertimbangkan relokasi ke negara-negara yang tak terkena tarif tinggi. Itu sangat mungkin terjadi karena mereka mencari efisiensi,” kata Murtiadi.

Ia menyebut, dalam jangka panjang, Indonesia bisa kehilangan potensi investasi baru, dan bahkan beberapa investor lama bisa menarik diri.

Murtiadi juga mengingatkan bahwa jika ekspor ke AS menurun drastis sementara impor tetap stabil atau bahkan meningkat, Indonesia bisa menghadapi defisit neraca perdagangan. Situasi ini dapat berdampak langsung terhadap nilai tukar rupiah.

“Jika ekspor menurun sementara dolar tetap dibutuhkan untuk membayar impor, rupiah bisa tertekan. Ini bisa memicu inflasi impor dan berujung pada naiknya harga-harga barang di dalam negeri,” paparnya.

Kendati demikian, Murtiadi menilai bahwa pemerintah masih memiliki ruang untuk mengurangi dampak negatif melalui strategi mitigasi yang tepat. Salah satunya adalah mempercepat diversifikasi pasar ekspor.

“Pemerintah dan pelaku usaha perlu agresif menjajaki pasar baru seperti Timur Tengah, Eropa Timur, hingga Afrika. Kita juga harus mempercepat kerja sama dagang bilateral atau multilateral yang bisa memberi akses bebas bea masuk,” jelasnya.

Ia juga mendorong pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri agar tetap kompetitif di pasar global, terlepas dari hambatan tarif.

Selain Indonesia, negara-negara Asia Tenggara lainnya juga dikenai tarif tinggi oleh pemerintahan Trump. Vietnam bahkan dikenai tarif hingga 46%, sementara Kamboja 49%. Meski demikian, Murtiadi menegaskan bahwa Indonesia tetap harus waspada karena besarnya ketergantungan RI pada pasar AS dalam beberapa sektor strategis.

“Kita tak sendiri, tapi posisi kita cukup rentan karena banyak produk ekspor kita sangat dominan di pasar Amerika,” pungkasnya.

Diketahui, Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat menyepakati penyelesaian negosiasi tarif impor resiprokal dalam jangka waktu 60 hari ke depan.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers bertajuk “Perkembangan Terkini Negosiasi dan Diplomasi Perdagangan Indonesia-Amerika Serikat” di Washington DC, Amerika Serikat, Jumat (18/04).

“Indonesia dan Amerika Serikat bersepakat untuk menyelesaikan perundingan ini dalam waktu 60 hari,” ujar Airlangga.

Dalam pembahasan tersebut, kedua negara menyepakati sejumlah kerangka acuan dan mencakup kerja sama, termasuk kemitraan di bidang perdagangan dan investasi, mineral kritis, serta ketangguhan rantai pasok global. Pertemuan lanjutan diadakan akan digelar dalam satu hingga tiga putaran.

“Kami berharap dalam 60 hari, kerangka tersebut bisa ditindaklanjuti dalam bentuk format perjanjian yang akan disetujui antara Indonesia dan Amerika Serikat,” lanjut Airlangga.

Tim negosiator Indonesia juga telah menemui sejumlah pejabat tinggi AS seperti Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick, Wakil Dagang AS Jamieson Greer, dan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio. Pertemuan dengan Menteri Keuangan AS Scott Bessent diadakan berlangsung pekan depan.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Sugiono juga melakukan pertemuan bilateral dengan Menlu AS Marco Rubio pada Rabu (16/04) waktu setempat. Keduanya menegaskan komitmen memperkuat strategi kemitraan di berbagai sektor, termasuk politik, keamanan, perdagangan, dan investasi.

Sugiono turut mendorong penguatan kerja sama di sektor rantai pasok, khususnya pada sektor mineral kritis seperti nikel, serta menyampaikan sejumlah program prioritas Astacita dari Presiden Prabowo Subianto, seperti ketahanan pangan dan energi, hilirisasi industri, dan pembangunan SDM.

Negosiasi ini merupakan respons atas kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Presiden AS Donald Trump pada 2 April 2025. Dalam kebijakan tersebut, Indonesia dikenai tarif hingga 32 persen. Namun, pada 9 April 2025, AS memberikan jeda 90 hari untuk mengimplementasikan kebijakan itu bagi sebagian besar negara, termasuk Indonesia.

Adapun kebijakan tarif tambahan sebesar 10 persen yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dipastikan memberikan tekanan besar terhadap ekspor Indonesia.

Penambahan bea masuk ini membuat total tarif terhadap produk-produk Indonesia yang masuk ke pasar AS bisa melonjak hingga 47 persen. Kondisi ini membuat produk Indonesia kehilangan daya saing dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam atau Bangladesh, yang menerapkan tarif lebih rendah.

Kebijakan tarif tambahan ini merupakan bagian dari langkah proteksionis terbaru yang diumumkan Presiden Trump pada awal April 2025, sebagai bentuk tarif resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Sementara itu, pemerintah tengah melanjutkan negosiasi perdagangan dengan pihak AS, dan menargetkan penyusunan kerangka perjanjian kemitraan dagang dalam 60 hari ke depan. Upaya diplomasi ini diharapkan dapat memberikan dampak negatif terhadap sektor ekspor nasional dan menjaga stabilitas ketenagakerjaan dalam negeri.

Tiga Strategi Besar Pemerintahan Prabowo: Tanggapan Terukur Hadapi Krisis Global

Dalam menghadapi kebijakan tarif tinggi dari Trump, pemerintah Indonesia menekankan bahwa telah ada tiga “gebrakan besar” yang disiapkan dan mulai dijalankan.

Ketiga strategi ini diklaim bersinergi dan mampu melindungi perekonomian nasional dari dampak disrupsi eksternal seperti perang dagang.

1. Perluasan Mitra Dagang
Langkah pertama yang diambil oleh pemerintahan Prabowo adalah memperluas jaringan perdagangan internasional Indonesia. Indonesia secara aktif telah bergabung dalam aliansi ekonomi BRICS, yang memperkuat posisi tawar Indonesia di kancah global.

Selain itu, Indonesia juga menjadi bagian dari sejumlah perjanjian dagang multilateral seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yang mencakup negara-negara ASEAN, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Perjanjian ini secara kolektif mencakup sekitar 27% dari total perdagangan global.

Indonesia juga sedang dalam proses aksesi ke Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), organisasi yang mencakup 64% perdagangan dunia.

Di luar itu, Indonesia turut serta dalam perjanjian seperti Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CP-TPP), IEU-CEPA (Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement), dan I-EAEU CEPA (Indonesia-Eurasian Economic Union CEPA).

Selain perjanjian multilateral, Indonesia juga memiliki sejumlah kesepakatan bilateral dengan negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, Pakistan, Uni Emirat Arab, Iran, dan Chile. Semua perjanjian ini menjadi landasan untuk memperluas pasar ekspor Indonesia di luar Amerika Serikat.

2. Percepatan Hilirisasi Sumber Daya Alam
Strategi kedua yang diandalkan oleh Prabowo adalah kebijakan hilirisasi sumber daya alam. Pemerintah mendorong agar Indonesia tidak lagi mengekspor bahan mentah, melainkan memprosesnya menjadi produk bernilai tambah yang bisa memberikan keuntungan lebih besar bagi negara.

Salah satu contoh nyata dari kebijakan ini adalah komoditas nikel. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia berhasil mendorong pengolahan nikel di dalam negeri, menciptakan industri turunan yang mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan produk ekspor dengan nilai lebih tinggi.

Untuk memperkuat arah ini, Presiden Prabowo juga telah membentuk Badan Pengelola Investasi Danantara (BPI Danantara). Lembaga ini dirancang untuk mendanai dan mengelola proyek-proyek hilirisasi di sektor-sektor strategis seperti mineral, batu bara, minyak dan gas, perkebunan, perikanan, kelautan, hingga kehutanan.

3. Penguatan Konsumsi Dalam Negeri
Langkah ketiga dan terakhir adalah memperkuat permintaan domestik sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menyadari bahwa konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 54% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Maka dari itu, peningkatan konsumsi dalam negeri menjadi salah satu prioritas utama.

Untuk mendorong konsumsi, pemerintah meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis, yang tidak hanya bertujuan meningkatkan gizi masyarakat tetapi juga memicu pertumbuhan di sektor pertanian dan pangan. Di samping itu, pemerintah juga mendorong pendirian 80.000 koperasi desa Merah Putih, yang berperan sebagai penggerak ekonomi mikro dan pendorong pertumbuhan ekonomi lokal.

Melalui dua program ini, diharapkan daya beli masyarakat meningkat, ketergantungan terhadap barang impor berkurang, dan ekonomi dalam negeri menjadi lebih tahan terhadap tekanan global.

Tarif timbal balik dari Presiden Trump memang menjadi tantangan serius bagi Indonesia, terutama bagi sektor-sektor yang selama ini mengandalkan ekspor ke pasar AS. Namun, pemerintah memastikan bahwa langkah-langkah antisipatif telah disiapkan secara matang.

Melalui perluasan jaringan dagang internasional, industrialisasi berbasis sumber daya alam, serta penguatan konsumsi domestik, pemerintahan Prabowo menunjukkan pendekatan strategis dan menyeluruh dalam menghadapi perang dagang.

Di tengah ketidakpastian global, strategi ini menjadi fondasi untuk menjaga Indonesia tetap tumbuh, mandiri, dan tangguh di panggung ekonomi dunia.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news