
KabarMakassar.com — Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS, Ateng Sutisna, melontarkan kritik tajam terhadap usulan pemerintah terkait pembentukan enam daerah istimewa dan lima daerah khusus.
Ia menilai langkah ini berpotensi mengaburkan esensi otonomi daerah dan menimbulkan pertanyaan serius soal urgensi serta arah kebijakan pemekaran wilayah di Indonesia.
“Pertanyaan mendasarnya: mengapa harus didorong menjadi daerah istimewa atau daerah khusus? Kenapa tidak melalui mekanisme pemekaran konvensional seperti pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB)?” tanya Ateng dalam rapat kerja bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Selasa (14/05).
Menurut Ateng, pemerintah perlu menjelaskan apakah usulan tersebut benar-benar lahir dari kebutuhan mendesak masyarakat, atau sekadar hasil dari tekanan politik tertentu yang bersifat pragmatis dan jangka pendek.
Ia mengungkapkan bahwa selama dua dekade terakhir, jumlah DOB yang terbentuk mencapai ratusan, menjadikannya angka tertinggi dalam sejarah Republik.
Namun, alih-alih memperkuat pemerintahan lokal, gelombang pemekaran justru membuka ruang refleksi mendalam atas kegagalan tata kelola yang masih berlangsung di banyak daerah.
“Jangan-jangan maraknya permintaan pemekaran justru mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja daerah induk. Ini bukan lagi soal luas wilayah atau jumlah penduduk, tapi cermin dari krisis manajemen pemerintahan daerah,” ujar Ateng.
Ia juga menyoroti lemahnya sistem evaluasi pascapemekaran yang dijalankan oleh Kemendagri. Beberapa contoh DOB seperti Kabupaten Kepulauan Anambas, Pulau Morotai, dan Buton Tengah justru menunjukkan kemunduran dari sisi kemandirian fiskal.
“Lihat saja, Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka hanya berkontribusi satu hingga dua persen dari total APBD. Sisanya, sangat bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pusat,” jelasnya.
“Bahkan, ada yang sampai mengalami krisis keuangan hingga layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan sempat terhenti.” tambahnya
Fakta ini, menurut Ateng, membuktikan bahwa pemekaran wilayah tidak serta merta menjadi solusi untuk percepatan pembangunan. Tanpa perencanaan yang matang dan dukungan kapasitas kelembagaan yang kuat, DOB justru berpotensi menjadi beban baru bagi keuangan negara.
Ia mengutip data internal Kemendagri yang menunjukkan sekitar 78 persen DOB yang dibentuk pada periode 1999–2009 belum mampu mandiri hingga saat ini. Padahal, salah satu tujuan utama dari otonomi daerah adalah menciptakan pemerintahan lokal yang kuat dan mandiri secara ekonomi.
“Atas dasar ini, saya mendesak agar Kemendagri membuka secara transparan mekanisme monitoring dan evaluasi DOB, termasuk alokasi anggaran yang telah dikucurkan,” lanjutnya.
Ateng menekankan pentingnya akuntabilitas dalam penggunaan dana pembangunan. Ia mengingatkan, jika anggaran tersebut tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, maka harus ada sanksi atau mekanisme koreksi yang tegas dari pemerintah pusat.
“Kita harus tahu, apakah anggaran pusat benar-benar digunakan untuk membangun jalan, sekolah, atau rumah sakit? Atau justru hanya jadi proyek politik untuk membagi kekuasaan lokal?” kritiknya.
Politikus asal Jawa Barat itu juga mengingatkan agar pembentukan daerah istimewa dan khusus tidak menjadi ‘jalan pintas’ untuk mengakomodasi kepentingan elite lokal.
Ia menegaskan bahwa semangat otonomi harus tetap berpijak pada prinsip pemerataan, efektivitas pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat, bukan semata-mata simbol politik atau budaya.
“Jika pemekaran hanya didasarkan pada sentimen identitas atau kepentingan elite, kita sedang bermain-main dengan masa depan otonomi daerah. Pemerintah harus kembali ke substansi: memperbaiki tata kelola dan memperkuat kapasitas daerah yang sudah ada,” tegas Ateng.
Dengan kondisi keuangan nasional yang menuntut efisiensi, ia mengingatkan bahwa setiap keputusan politik mengenai pemekaran wilayah harus berorientasi pada manfaat jangka panjang dan kepentingan rakyat, bukan proyek politik jangka pendek.