KabarMakassar.com — Efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat mulai berdampak signifikan terhadap industri perhotelan di Makassar. Sebanyak 20% karyawan hotel mulai dirumahkan.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan, Anggiat Sinaga, mengungkapkan bahwa banyak hotel terpaksa merumahkan sebagian karyawannya sebagai langkah bertahan di tengah anjloknya pendapatan.
Saat ini, sekitar 15 hingga 20% karyawan hotel telah dirumahkan akibat kebijakan rasionalisasi anggaran. Salah satu contohnya adalah Hotel Claro, yang telah merumahkan hampir 200 karyawannya guna menjaga keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran.
“Hampir semua hotel terkena dampaknya. Sebut saja hotel mana, pasti mengalami hal yang sama,” ujar Anggiat, Jumat (14/03).
Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa kebijakan ini bukanlah pemutusan hubungan kerja (PHK) permanen.
Pihak hotel tetap berkomitmen untuk memanggil kembali karyawan yang dirumahkan apabila kondisi keuangan kembali stabil.
“Ini bukan PHK, hanya sementara. Kalau situasi membaik, kami akan tarik mereka kembali,” tegasnya.
Langkah merumahkan karyawan dilakukan sebagai bentuk efisiensi pengeluaran, terutama karena hotel-hotel di Makassar sangat bergantung pada kegiatan pemerintahan.
Lebih dari 50 persen tingkat okupansi hotel biasanya berasal dari acara-acara yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Namun, kebijakan penghapusan kegiatan pemerintahan di hotel menyebabkan performa industri perhotelan anjlok.
Anggiat menyatakan bahwa ketergantungan hotel di Makassar terhadap pasar pemerintah sudah berlangsung lama, dengan kontribusi yang mencapai 40 hingga 50 persen dari total pendapatan industri.
“Ini benar-benar berdampak besar. Jujur saja, rasanya ingin menangis melihat kondisi ini. Pemerintah selama ini menjadi salah satu penopang utama bagi industri perhotelan di Makassar,” ungkapnya.
Dengan hilangnya kontribusi dari kegiatan pemerintahan, perhotelan kini kesulitan mencari alternatif sumber pendapatan yang dapat menutup kekurangan tersebut.
Oleh karena itu, PHRI Sulsel berharap pemerintah daerah dapat turut serta dalam mendorong sektor perhotelan agar tetap bertahan.
Sebagai solusi, PHRI meminta agar Pemerintah Kota Makassar aktif menarik dan mendukung berbagai event yang bisa mendatangkan banyak orang ke kota ini.
“Dengan turunnya kegiatan pemerintahan secara drastis, kami berharap Pak Wali Kota bisa membantu menarik lebih banyak event ke Makassar,” harap Anggiat.
Dukungan pemerintah dalam menghadirkan lebih banyak kegiatan dinilai sangat penting untuk membantu industri perhotelan bangkit dari keterpurukan dan mempertahankan tenaga kerja yang ada.
Tak hanya berdampak pada dirumahkannya karyawan perhotelan, Sektor perhotelan juga meminta beberapa kebijakan, khususnya dalam keringanan pajak hiburan.
Sebelumnya, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan meminta kebijakan keringanan pajak dari Pemerintah Kota Makassar.
Pajak hiburan yang saat ini mencapai 70 persen dinilai terlalu memberatkan, terutama ketika okupansi hotel hanya berada di kisaran 20-25 persen.
Anggiat Sinaga menyampaikan permintaan ini langsung dalam audiensi dengan Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin baru-baru ini.
Ia menegaskan bahwa beban pajak yang tinggi semakin memperburuk kondisi sektor perhotelan yang telah mengalami penurunan pendapatan dalam beberapa waktu terakhir.
“Kami meminta kepada Pak Wali agar mempertimbangkan relaksasi pajak, mengingat kondisi saat ini sangat sulit. Pajak sebesar 70 persen sangat berat bagi kami. Bahkan Pak Wali sendiri memahami bagaimana sulitnya menjalankan usaha dengan pajak setinggi itu. Beliau bercerita bahwa saat masih memiliki event organizer, pajak seperti ini menyulitkan dalam menyelenggarakan acara,” ujar Anggiat, Jumat (14/03).
Namun, ia juga menyadari bahwa permintaan tersebut tidak mudah untuk direalisasikan karena Pemkot Makassar memiliki target pendapatan yang harus dicapai.
“Kami paham bahwa pemerintah juga memiliki kewajiban untuk memenuhi target pendapatan daerah. Tapi, kami berharap ada solusi yang bisa meringankan beban kami,” lanjutnya.
Anggiat menambahkan bahwa PHRI Sulsel sangat berharap adanya formulasi khusus yang bisa diterapkan agar industri perhotelan tetap bertahan di tengah kondisi sulit ini.
Menurutnya, jika pajak hiburan dapat dikurangi atau diberikan kelonggaran, maka industri ini memiliki peluang lebih besar untuk bertahan dan bahkan berkembang.
Menanggapi permintaan tersebut, Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, menyatakan bahwa kebijakan relaksasi pajak tidak bisa langsung diterapkan tanpa kajian lebih lanjut.
Menurutnya, segala perubahan terkait pajak harus melalui analisis mendalam karena menyangkut pendapatan asli daerah (PAD) yang telah ditargetkan setiap tahunnya.
“Ini bukan perkara yang bisa langsung diubah begitu saja. Harus ada kajian yang matang karena Pemkot Makassar sudah memiliki target pendapatan yang harus dipenuhi,” kata Munafri.
Ia juga menjelaskan bahwa jika relaksasi pajak diberikan tanpa perhitungan yang matang, maka dapat berdampak pada turunnya pendapatan daerah, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi berbagai program pembangunan dan pelayanan masyarakat.
Oleh karena itu, Pemkot Makassar akan mencari solusi lain yang dapat membantu sektor perhotelan tanpa mengganggu keseimbangan APBD.
“Jika pajak ini dipotong begitu saja, maka bisa muncul masalah baru. Namun, kami menyadari bahwa kondisi industri ini memang sedang sulit. Oleh karena itu, pemerintah akan mencari cara agar sektor perhotelan tetap bisa bertahan tanpa mengganggu struktur APBD kita,” tegasnya.
Lebih lanjut, Munafri menegaskan bahwa Pemkot Makassar sangat memperhatikan kondisi yang dialami oleh para pelaku usaha hotel dan restoran.
Ia memastikan bahwa pemerintah akan terus hadir untuk memberikan dorongan serta dukungan agar industri ini tetap berjalan dan tidak mengalami dampak lebih besar, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) atau penutupan usaha.
“Kami sangat peduli dengan masalah yang dihadapi teman-teman di industri ini. Pemerintah akan melihat apa yang bisa dilakukan agar sektor ini tetap berjalan tanpa harus ada PHK atau dampak negatif lainnya,” tambah Munafri.