
KabarMakassar.com — Pemerintah Kota Makassar menggandeng Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang dalam upaya mengatasi persoalan banjir yang kerap melanda sejumlah wilayah.
Kolaborasi ini menyasar penyusunan solusi jangka panjang yang menyeluruh, mulai dari pembangunan kolam retensi hingga penataan kanal.
Pertemuan antara Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin dan Kepala BBWS Pompengan, Suryadarma Hasyim, berlangsung di Kantor Wali Kota, Senin (19/05) kemarin.
Dalam pertemuan tersebut, dibahas beberapa wilayah prioritas penanganan banjir seperti Blok 10 Antang, BTN Kodam 3 Biringkanaya, hingga kawasan padat di Jl. AP Pettarani.
Menurut Munafri, pemerintah kota telah mengkaji kemungkinan pembangunan kolam retensi baru di kawasan permukiman terdampak. Namun, rencana ini menghadapi kendala pembebasan lahan, dengan estimasi kebutuhan anggaran mencapai Rp400 miliar.
“Solusinya bukan hanya teknis, tapi juga sosial. Kami mempertimbangkan relokasi sekitar 400 rumah untuk membuka ruang bagi kolam retensi baru,” ujar Munafri.
Langkah ini disebutkan sebagai strategi jangka panjang yang tidak hanya meredam banjir, tetapi juga menciptakan ruang terbuka yang lebih tertata.
Setiap rumah yang direlokasi diperkirakan membutuhkan biaya sekitar Rp1 miliar, sehingga total anggaran untuk relokasi juga berada di kisaran Rp400 miliar.
Munafri menambahkan bahwa Pemkot Makassar telah melibatkan tim dari Universitas Hasanuddin (Unhas) dalam merumuskan solusi berbasis data dan kajian teknis.
Hasil analisis tersebut kemudian disinergikan dengan data dan kewenangan BBWS untuk menemukan jalan keluar yang paling efektif.
“Penanganan banjir harus kolaboratif. Karena sebagian kewenangan berada di pemerintah pusat, kami dorong sinergi dengan BBWS agar pelaksanaan lebih terarah,” katanya.
Selain pembangunan infrastruktur pengendali banjir, Pemkot juga menyoroti perlunya regulasi yang mengatur kanal dan saluran air secara menyeluruh.
Menurut Munafri, penataan kanal harus melibatkan penertiban bangunan liar, terutama yang menghalangi aliran air atau bahkan menutup kanal.
“Banyak kanal diubah menjadi gang atau tempat buang sampah. Ini memperparah kondisi lingkungan dan mempersempit fungsi kanal,” imbuhnya.
Di sisi lain, Kepala BBWS Pompengan Jeneberang, Suryadarma Hasyim, menyatakan bahwa pengendalian banjir membutuhkan pendekatan menyeluruh dari hulu ke hilir.
Wilayah Sungai Pohon, yang mencakup 21 kabupaten dan 3 kota di Sulawesi Selatan, menjadi fokus pengelolaan terpadu oleh BBWS.
Salah satu proyek strategis yang tengah digarap adalah Bendungan Bili-bili. Bendungan ini tidak hanya berfungsi sebagai konservasi air, tetapi juga sebagai pengendali banjir dan sumber air baku untuk Kota Makassar.
Namun, banjir besar yang terjadi pada Februari 2019 menunjukkan bahwa ancaman tidak hanya datang dari Sungai Jeneberang. Saat itu, Sungai Jenelata menjadi penyebab utama banjir karena belum memiliki sistem pengendalian yang memadai.
“Proyek pengendalian Sungai Jenelata sedang berjalan, didanai dari pinjaman luar negeri, dan ditargetkan rampung pada 2028,” jelas Suryadarma.
Ia juga menekankan bahwa perubahan fungsi lahan, terutama di daerah resapan seperti Perumnas Antang, menjadi penyebab serius peningkatan risiko banjir.
Oleh karena itu, BBWS turut mendorong pembangunan infrastruktur tambahan seperti Kolam Regulasi Nipa-nipa, waduk tunggu di Pampang, dan fasilitas penanganan banjir lainnya.
“Semua ini membutuhkan sinergi. BBWS tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan penuh dari pemerintah daerah,” pungkasnya.
Melalui kerja sama lintas sektor ini, diharapkan penanganan banjir di Makassar dapat terintegrasi dan efektif, dengan prioritas pada wilayah-wilayah yang selama ini menjadi langganan genangan air setiap musim hujan.