
KabarMakassar.com — Puluhan Guru Besar Fakuktas Kedokteran (FK) Universitas Hasanuddin (Unhas) menyatakan keprihatinan terhadap arah kebijakan kesehatan nasional.
Keprihatinan tersebut dilakukan dengan menyuarakan aksi terhadap situasi pendidikan kedokteran saat ini yang berlangsung di Pelataran Fakuktas Kedokteran Unhas, Selasa (20/05).
Puluhan guru besar fakultas kedokteran Unhas menyuarakan terkait sinergi antara pemangku kepentingan untuk menemukan solusi terkait permasalahan pendidikan dokter dan dokter spesialis
Aksi keprihatinan ini juga turut dilakukan oleh puluhan guru besar dari berbagai Fakultas Kedokteran di Indonesia lainnya.
Dalam surat pernyataan terbuka yang dirilis kepada publik, para guru besar fakultas kedokteran menyoroti sejumlah kebijakan Kementerian Kesehatan yang dianggap berpotensi menurunkan kualitas pendidikan kedokteran serta membahayakan mutu layanan kesehatan masyarakat.
Para guru besar menegaskan bahwa selama ini mereka telah berperan aktif dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, serta penyusunan kebijakan berbasis bukti ilmiah, khususnya selama masa pandemi COVID-19.
Namun, mereka merasa arah kebijakan pemerintah cenderung sentralistik dan mengabaikan prinsip-prinsip akademik yang telah lama dibangun.
Salah satunya adalah penolakan terhadap pendirian jalur pendidikan dokter spesialis di luar universitas.
Para guru besar FK Unhas menilai langkah tersebut tidak menyelesaikan kekurangan tenaga kesehatan, justru berisiko menurunkan kualitas pendidikan dan kompetensi lulusan.
“Kami menolak keputusan birokratis yang melemahkan rumah sakit pendidikan dan sistem kesehatan akademik. Pemutusan hubungan antara staf pengajar dan rumah sakit pendidikan akan menghancurkan integrasi layanan, pendidikan, dan penelitian,” sebut Dekan FK Unhas, Prof. Dr. dr. Hartani Rasyid MKes SpGK SpPD KGH(K) membacakan pernyataan sikap.
Para guru besar juga menentang narasi yang menyudutkan tenaga medis dalam wacana publik oleh sejumlah pejabat tinggi negara.
Pihaknya menyebut bahwa akar persoalan sistem kesehatan nasional lebih disebabkan oleh lemahnya tata kelola, rendahnya akses, dan ketimpangan distribusi layanan, bukan semata kesalahan dokter atau institusi pendidikan.
Selain itu, penolakan juga disuarakan terhadap pengambilalihan Kolegium Dokter Spesialis yang telah berkiprah selama lebih dari 50 tahun.
Sebab pembentukan kolegium baru oleh Kementerian Kesehatan dinilai dilakukan tanpa proses yang transparan, tanpa pelibatan organisasi profesi dan institusi pendidikan, serta sarat dengan muatan politik dan birokrasi.
Di akhir, para guru besar mendesak Presiden Republik Indonesia, DPR RI, dan para pemimpin nasional untuk menjadikan keselamatan rakyat dan hak atas layanan kesehatan bermutu sebagai prioritas utama, menghentikan kebijakan kesehatan yang tergesa-gesa dan minim partisipasi publik dan menjamin mutu pendidikan tenaga medis serta mengakhiri intervensi terhadap rumah sakit pendidikan dan institusi akademik.
Selanjutnya membangun kembali kepercayaan antara pemerintah dan profesi medis, serta mendukung proses hukum yang tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan PTUN terkait kebijakan-kebijakan kontroversial tersebut.